THE OPTIMISM BIAS: A Tour Of Irrationally Positive Brain
Tali Sharot
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Rafi sangat anti terhadap kata-kata bijak motivator yang selalu menasihati orang lain untuk terus berpikir positif. Ia berpikir, tak mungkin setiap saat, dalam setiap peristiwa, seseorang bisa terus berpikir positif dan optimis.
Bahkan menurutnya, itu bisa berbahaya karena tak setiap pemikiran positif sesuai realitas. Bagaimana kalau seseorang berpikir positif padahal situasinya negatif? Begitu tanyanya dalam hati. Dia membayangkan bagaimana jadinya jika seorang kapten kapal terlalu berpikir positif di saat kapalnya mau tenggelam. Bukankah pemikiran positif seperti itu malah menjadikan si kapten lengah?
Akibat hal ini, dia bahkan berdebat dengan temannya yang berpandangan sebaliknya. Berkebalikan dengan dirinya, temannya justru memiliki optimisme yang tinggi terhadap pemikiran yang positif.
Demi meyakinkan Rafi, temannya menyodorkannya sebuah buku berjudul “The Optimism Bias: A Tour of Irrationally Positive Brain” karya Tali Sharot.
Menurut temannya, yang telah membaca buku itu, buku tersebut mengungkap betapa powerful-nya sikap optimis, sekalipun sikap optimis tersebut tanpa dasar.
“Baca buku itu dulu, kalau sudah selesai, kita diskusi lagi,” begitu katanya, sedikit menahan emosi.
Rafi pun menyanggupi kesepakatan tersebut dengan mulai membaca buku itu.
So, akankah Rafi menemukan bagaimana powerful-nya sikap optimis dalam buku tersebut? Yuk ikuti kisahnya dalam BaRing berikut ini.
Ring 1 - Apa Gambaran Besar Isi Buku Ini?
Banyak motivator yang memotivasi kita dengan menyarankan kita untuk berpikir positif atau optimis tentang segala sesuatu. Dalam menghadapi masalah apapun, mereka meyakinkan diri kita bahwa dalam setiap masalah pasti ada sisi positifnya.
Tak peduli apakah pemikiran positif itu sesuai realitas atau tidak, mereka berpikir bahwa segala sesuatu memiliki sisi positif tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Tapi, banyak juga orang yang sinis terhadap pikiran positif. Mereka menganggap bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah berisi kekacauan-kekacauan yang tidak menyisakan harapan sama sekali bagi umat manusia. Sehingga, berpikir positif dianggap hanya mengilusi diri sendiri.
Dan, ada juga orang yang berpikir bahwa sikap yang tepat bukanlah berpikir positif atau pun negatif berlebihan, melainkan semua harus disesuaikan dengan realitas. Kalau realitasnya positif, katakan positif. Dan, kalau realitasnya negatif, ya harus bisa menerima kenyataan.
Sikap realistis ini, menurut mereka, akan menyelamatkan diri sendiri dari mengilusi diri.
Lalu, mana yang paling tepat, dalam arti yang paling banyak membantu kita mencapai tujuan kita?
Inilah yang dibahas dalam buku ini. Dalam buku ini, penulisnya yakni Tali Sharot mengungkap kenapa pikiran positif atau optimis, yang meskipun belum tentu sesuai dengan realitas, tetap bisa membawa dampak positif bagi hidup kita. Ini berarti, terkadang, ilusi bermanfaat bagi kita, bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan kita.
Meskipun begitu, bukan berarti semua optimisme bisa diterima. Kalau kita optimis kita bisa sukses tanpa harus melakukan apapun dan hanya berdiam diri, maka seoptimis apapun diri kita, maka kemungkinan untuk bisa benar-benar sukses sangatlah kecil atau bahkan mustahil.
Ring 2 - Apa Maksud “Bias Optimisme” dalam Buku Ini?
Bias optimisme adalah sebutan untuk sikap optimis yang tidak sesuai dengan realitas.
Contohnya, suatu malam Anda mendengar suara gaduh di rumah Anda dan Anda berpikir bahwa itu hanya suara tikus sedangkan pada kenyataannya itu suara pencuri.
Meskipun anggapan Anda positif dan bisa menenangkan diri Anda, tapi anggapan itu tidak tepat alias mengandung ilusi. Inilah yang disebut bias optimisme.
Setidaknya ada 2 bentuk bias optimisme yang sering terjadi pada banyak orang, yakni:
1. Keyakinan tak berdasar bahwa diri kita bisa mengendalikan situasi di luar diri kita.
Contohnya, Anda bersikeras untuk summit alias mendaki ke puncak gunung tanpa perlengkapan yang dibutuhkan, mulai dari jaket, sepatu, jas hujan, makanan, minuman, senter, dan obat-obatan di saat badai menghantam gunung tersebut.
Situasi seperti itu sungguh di luar kendali Anda. Banyak pendaki yang kehilangan nyawa karena kenekadan seperti ini.
Jika Anda bersikeras untuk tetap mendaki karena Anda optimis sesulit apapun tantangannya tetap bisa dilewati, maka ini menunjukkan Anda memiliki bias optimisme terhadap kemampuan diri Anda dalam mengendalikan situasi tersebut.
2. Keyakinan tanpa dasar bahwa tidak akan ada hal negatif yang menimpa diri kita, atau kemungkinan diri kita mengalami hal-hal negatif sangatlah kecil.
Contohnya dalam situasi pandemi covid sekarang. Banyak orang yang menyepelekan protokol kesehatan lantaran memiliki optimisme bahwa dirinya tidak akan mungkin tertular covid, meskipun realitasnya kemungkinan tertular bagi orang yang tidak menerapkan protokol kesehatan sangatlah besar.
Nah optimisme yang seperti ini juga termasuk ke dalam bias optimisme.
Meskipun bias optimisme mengilusi diri kita dan seringkali menjerumuskan kita pada keputusan yang keliru dan kenekadan, tapi terkadang ilusi yang diciptakan oleh bias optimisme masih bisa ditoleransi dan malah justru bisa bermanfaat bagi kita. Penasaran bagaimana penjelasannya? Anda bisa menyimaknya di Ring 4.
Ring 3 - Apakah Optimisme yang tidak Realistis Berbahaya menurut Buku Ini?
Jawabannya, ya, seperti yang telah dijelaskan di Ring sebelumnya. Optimisme yang tidak realistis alias bias optimisme melahirkan ilusi yang bisa berbahaya untuk diri kita.
Ada 2 bentuk bahaya yang bisa terjadi:
1. Bahaya yang berkaitan langsung dengan akibat bias tersebut
Contohnya adalah saat kita mendengar suara gaduh di rumah kita tapi kita hanya ber-positive thinking bahwa itu hanya suara tikus padahal suara pencuri.
Maka kalau kita santai-santai saja, barang-barang di rumah kita bisa raib semua.
2. Bahaya yang berkaitan tidak langsung dengan akibat bias tersebut
Contohnya, Anda baru membangun bisnis dengan modal nekad. Anda tidak mempersiapkan bekal pengetahuan bisnis sama sekali. Anda juga belum pernah berpengalaman melakukannya sebelumnya. Modal Anda juga sangat kecil.
Tapi entah kenapa, Anda sangat optimis dan yakin Anda bakal sukses dalam waktu satu bulan.
Meskipun ada kemungkinan Anda benar-benar sukses meski sangat kecil, tapi kalau Anda gagal, sikap Anda yang terlalu optimis & yakin itu bisa berbalik menyerang Anda. Ini bisa membuat Anda malu bahkan tak bisa menerima kenyataan.
Inilah kenapa seringkali kita bertemu orang yang tidak mau percaya diri yang berlebihan. Karena kalau gagal rasanya jauh lebih sakit daripada kalau kita percaya diri sewajarnya. Karena, kita sudah terlanjur menaruh harapan yang sangat besar.
Ring 4 - Adakah Dampak Positif Bias Optimisme bagi Seseorang? Jika Ada, Apa?
Seperti yang disebutkan di Ring 2, meskipun seringkali bias optimisme mengilusi dan membahayakan diri kita, tapi ada kasus-kasus tertentu di mana bias optimisme bermanfaat bagi kita.
Terutama berkaitan dengan situasi yang tidak bisa kita prediksi sama sekali dengan perhitungan logis sekalipun.
Contoh ada 2 atlet yang bertanding di sebuah pertandingan bulu tangkis tingkat internasional. Kedua atlet itu kalau dibandingkan, memiliki kualitas yang sama. Keduanya sama-sama sering memenangkan pertandingan tingkat internasional dan memang telah menjadi rival yang paling sebanding.
Nah dengan kemampuan yang sama seperti itu, mampukah kita memprediksi dengan keakuratan tinggi siapa yang bakal menang?
Tidak, bukan? Oleh karena itu, optimisme yang bisa dibangun hanyalah optimisme tak berdasar alias bias optimisme.
Dan dalam kasus seperti ini, bias optimisme atlet-atlet tersebut bisa bermanfaat bagi mereka. Kenapa?
Pertama karena bias optimisme meningkatkan motivasi mereka. Keyakinan bahwa mereka bakal menang pertandingan akan membuat mereka lebih percaya diri dan bersemangat dalam berlatih.
Tapi dampaknya akan lebih terasa saat pertandingan berlangsung. Bias optimisme menjadikan atlet-atlet yang bertanding, bertanding dengan penuh percaya diri. Kepercayaan diri ini akan membuat mereka bisa mengeluarkan kemampuan mereka sepenuhnya.
Sebaliknya, kalau salah satu dari keduanya pesimis bisa menang, maka pesimisme ini akan membuat dirinya tidak bisa bertanding dengan kemampuan penuh. Pesimisme ini juga akan membuatnya mudah menyerah, terutama saat melihat permainannya tidak sebagus lawannya.
Sedangkan bagi lawannya yang lebih optimis, maka optimisme ini akan membuatnya tidak mudah menyerah meskipun saat mendapati permainannya tidak sebaik lawannya. Optimismenya akan membuatnya percaya diri bahwa masih ada waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
Nah dari contoh barusan, pelajaran terpentingnya adalah, kalau kita terjebak dalam sebuah situasi yang benar-benar di luar kendali diri kita, justru bias optimisme sangat diperlukan dan tidak akan merugikan diri kita. Why? Kita tidak tahu pasti apa yang bakal terjadi, kita tidak bisa memprediksi seberapa besar peluang sukses kita. Kemungkinan gagal atau suksesnya diri kita besarnya sama. Jadi, justru rugi kalau kita tidak optimis.
Kalau Anda terlanjur berada di puncak gunung dan beberapa saat kemudian badai datang, mana sikap yang lebih bermanfaat untuk Anda? Apakah sikap optimis bahwa Anda bisa selamat meski Anda tidak tahu bagaimana caranya, atau sikap pesimis bahwa Anda bisa selamat?
Tentu, jawabannya yang pertama, right?
Kalau Anda optimis Anda bisa selamat, optimisme ini akan mendorong Anda untuk mencari jalan keluar. Sebaliknya, kalau Anda pesimis bisa selamat, maka pesimisme tersebut akan membuat Anda panik dan malah membuat Anda semakin tidak bisa berpikir jernih untuk mencari jalan keluar.
TALI SHAROT, Melakukan riset pada rasa optimis, memori dan emosi dan telah diliput di Time, New Scientist, The New York Times, dan banyak lagi. Dia meraih gelar Ph.D. di bidang psikologi dan Neuroscience di New York University dan saat ini partner riset di Wellcome Trust Centre untuk Neuroimaging di University College London.
Setelah membaca sampai halaman terakhir, Rafi barulah tahu bagaimana sikap optimisme, meskipun tanpa dasar sekalipun, bisa bermanfaat. Selebihnya, berikut beberapa insight yang didapatkannya:
- Bias optimisme adalah sebutan untuk sikap optimis yang tidak sesuai dengan realitas.
- Bias optimisme bisa berbahaya untuk kita karena mengilusi diri kita yang bisa menjerumuskan diri kita pada keputusan yang keliru.
- Meskipun bias optimisme bisa berbahaya, tapi dalam situasi tertentu dia bisa sangat bermanfaat untuk kita. Sebagai contoh saat kita terjebak dalam situasi yang tak terprediksi sama sekali dan di luar kendali diri kita.
- Bias optimisme ada 2 bentuk: (1) keyakinan tak berdasar bahwa kita mustahil mengalami hal negatif, (2) keyakinan tak berdasar bahwa kita bisa mengendalikan situasi di luar kendali diri kita.
Terima kasih telah menemani perjalanan Rafi, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di Baring selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya