PARENTING WITHOUT BORDERS - Surprising Lessons Parents Around The World Can Teach Us
Christine Gross-Loh
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
ring 6
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Orangtua di Perancis bukanlah tanpa cacat; masa kecil di Jepang jauh dari sempurna; begitupula masa kecil di manapun. Lebih dari itu, budaya bersifat kompleks, dinamis, dan selalu berevolusi. Tapi tinggal di luar negeri memiliki banyak manfaat tak terduga bagi anak-anak kami yang tidak bisa mereka dapatkan di tanah air.
Adakah cara yang dilakukan oleh budaya dan negara lain yang bisa dijadikan pedoman mengenai masa kecil?
Apa yang diyakini oleh orangtua di budaya negara berkembang?
Adakah hubungan antara budaya (yang masyarakat harapkan) dan biologi (ke mana anak-anak berevolusi) yang dimiliki negara lain yang bisa kita pelajari?
Mungkinkah praktek pengasuhan di negara lain membantu kita mengembangkan aspek positif dan penting tentang masa kecil bagi anak-anak kita?
“Waw, menarik,” pikir Nita setelah membaca beberapa kutip tulisan di buku yang sedang dilihatnya di toko buku itu.
Baginya yang memiliki 2 orang anak yang masih balita pertanyaan-pertanyaan yang baru saja dibacanya dari buku itu, menggugah hatinya untuk mencari tahu lebih mendalam. Ia ingin tahu bagaimana pola asuh terbaik dalam mendidik dan membesarkan anaknya hingga menjadi insan terbaik.
“Parenting Without Border, di tulis oleh CHRISTINE GROSS-LOH,” ujarnya saat membaca cover buku itu. “Ini harus dibeli, nih. Menarik kaya’nya” sambungnya sambil berjalan ke kasir.
Bagaimana buku ini bisa memberikan insight pada Nita? Yuk, Simak di Baring kali ini.
Ring 1 - Bagaimana Cara Tidur Anak yang Tepat?
Di Amerika dipercaya bahwa tidur terpisah itu diperlukan untuk membesarkan anak yang mandiri.
Para orangtua merasa menjadi orangtua yang baik ketika kami merencanakan pengasuhan dengan matang, membeli tempat tidur bayi, monitor bayi, dan mengajari bayi untuk tidur terpisah.
Jika dari awal tidak mengajari bayi untuk tidur sendiri, maka mereka akan keterusan. Mereka tidak akan pernah mau tidur terpisah.
Kebanyakan budaya di seluruh dunia, seperti Jepang dan Swedia, bayi tidak pernah tidur sendiri. Sebagian besar orang di seluruh dunia beranggapan bahwa bayi tidak seharusnya tidur sendirian.
Bayi biasanya tidur dengan ibu mereka dan anak-anak tidur dengan kakak-adik, atau anggota keluarga yang lain. Dari seratus negara pada sebuah survei, hanya orangtua di Amerika yang memiliki ruang tidur terpisah untuk anak-anak mereka.
Riset memberi kesan bahwa tidur bersama (co-sleeping) itu lebih sinkron dengan kebutuhan utama anak akan kedekatan, dan pemisahan bayi baru lahir dengan ibunya bisa mengarah pada permasalahan tidur yang banyak ditakutkan oleh para orangtua Amerika.
Antropologis, James McKenna, direktur dari Laboratorium Perilaku Tidur Ibu-bayi di universitas Notre Dame, telah meneliti pasangan ibu-bayi selama lebih dari tiga puluh tahun.
McKenna menemukan bahwa siklus tidur co-sleeping ibu dan bayi cenderung sangat sinkron. Ini bisa membantu ibu beristirahat dengan lebih baik karena dia dan bayinya cenderung masuk pada kondisi setengah tidur pada waktu bersamaan.
Merawat bayi yang tepat berada di samping ibu, ketika ibu dalam tahap setengah tidur tidaklah sama mengganggunya dengan tidurnya ibu yang harus bangun dari tidur pulas, turun dari tempat tidur, dan berjalan ke kamar lain.
Ring 2 - Kenapa Penting Sekali di mana dan Bagaimana Bayi itu Tidur?
Tidur itu penting, tidak hanya tentang tidurnya. Orangtua di budaya seluruh dunia percaya bahwa apa yang terjadi saat istirahat malam bisa membantu perilaku anak selama ia bangun, tingkat percaya diri mereka, dan rasa diri mereka.
Keller dan Goldberg mengeksplorasi riset mereka mengenai bagaimana keamanan dari kedekatan yang dibentuk antara orangtua dan anak yang tidur bersama di malam hari bisa bertindak sebagai pemacu perilaku mandiri selama siang hari.
Bayi dan ibu telah tidur bersama selama jutaan tahun – kita bisa di sini sekarang karena hal itu, Kata McKenna. Kapanpun bayi itu dekat ibu secara aman, maka akan mengurangi kemungkinan SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) atau Sindrom Kematian Bayi Mendadak. Kedekatan itu memberikan aliran interaksi dan cara untuk memonitor bayi. Kehadiran ibu penghalang utama akan SIDS.
Terlalu banyak barang
Konsumerisme juga bisa mengganggu hubungan anak-anak satu sama lain. Anak-anak merasakan keanehan mengenai apa yang mereka miliki dan apa yang perlu mereka miliki untuk bisa mengimbangi teman sepermainan mereka. Dan melalui apa yang ilmuwan sebut sebagai “perbandingan individual”. Ini membuat anak-anak mulai memandang rendah mereka yang tidak memiliki barang yang “tepat”.
Di Jepang anak-anak hanya memiliki sedikit barang kepunyaan. Membelikan hal-hal untuk anak-anak Anda dianggap terlalu baik, di Jepang. Meski orang Amerika memandang orang Jepang sebagai orang yang sangat sadar merk, namun kebanyakan orang Jepang hidup sederhana dan hemat.
Dalam hal membesarkan anak, sebagian besar orangtua di Jepang merasa penting untuk membiasakan anak hidup “kekurangan” dari awal. Itu lebih baik untuk karakter, imajinasi, kecerdasan, dan kehidupan masa depan mereka agar untuk tidak merasakan kepuasan materi yang cepat dan berlebih.
“Kekurangan” membuat si anak bisa menghargai apa yang mereka miliki. Ungkapan mono wo daiji ni suru, yang berarti “benar-benar memelihara sesuatu” merupakan sebuah prinsip yang diajarkan turun temurun.
Anak-anak Jepang selalu diingatkan bahwa kepunyaan itu tidak untuk dibuang, digantikan, dan harus bisa memperlakukannya dengan baik dan penuh penghargaan. Seperti tas punggung kulit yang anak-anak terima ketika mereka masuk kelas satu dan diharapkan untuk digunakan selama masa enam tahun belajar di sekolah dasar.
Orang-orang Jepang memandang ‘kelangkaan’ dan ‘tindakan berbagi’ sebagai satu kunci penting dalam kerjasama dan membangun hubungan. Mereka menganggap tidak apa-apa meminta beberapa anak untuk berbagi satu mainan.
Kamar pribadi anak bukanlah hal yang lazim di Jepang. Anak-anak dan dewasa suka meminjamkan barang satu sama lain karena membeli baru itu adalah upaya terakhir.
Ring 3 - Lalu bagaimana saya memanfaatkan kejeniusan saya dalam mencapai kesuksesan finansial?
Anak-anak harus belajar bagaimana menjadi orang dewasa. Artinya belajar bahwa kadang-kadang Anda harus menunggu. Kadang-kadang Anda tidak bisa mendapatkan apa yang Anda inginkan dengan segera, saat menginginkannya.
Di Perancis, ada ide bahwa membuat anak “frustasi” itu baik buat mereka. “Onles frustre”. Orangtua Perancis, Gilles menjelaskan: dengan menolak keinginan anak-anak atau membuat mereka menunggu hal-hal yang mereka inginkan. Kadang-kadang penundaannya bisa bertahun-tahun, mungkin karena belum saatnya, tidak ada uang, atau hanya karena mainannya dianggap tidak layak.
Ini adalah pendekatan yang cukup umum di Perancis yang dipahami sebagai hal yang baik untuk anak. Jika Anda tidak mengajari anak-anak untuk menunggu, atau bahwa mereka tidak bisa memiliki segala hal, mereka tidak akan bisa memahami kepuasan karena menunggu. Jika Anda memberi apa yang anak-anak inginkan dengan segera, maka risikonya anak itu akan menjadi boulimique atau selalu ingin lebih dan lebih.
Apa yang anak butuhkan pasti ada alasannya, tapi tidak semua keinginan adalah kebutuhan. Mengatakan tidak adalah hal paling sulit dalam menjadi orangtua. Tapi tugas kita untuk merancang batasan sehingga kita bisa mengajari anak-anak untuk mengaturnya untuk diri sendiri.
Jika kita selalu bilang ya, kita mencabut hak anak kita, untuk mengetahui bagaimana bisa bersyukur dalam kekurangan; dari kebebasan dari hal-hal yang tidak teratur; dari kepuasan bekerja dan menabung untuk hal-hal yang mereka inginkan.
Ring 4 - Bagaimana Mendidik Pola Makan Sehat di Berbagai Negara Berbeda?
Di Amerika Serikat, memberi makan anak selalu ditandai dengan hal-hal berlebih. Banyak yang sangat bergantung pada makanan anak-anak siap saji yang tersedia di supermarket dan toserba. Sangat umum bagi anak-anak untuk memiliki menu yang berbeda atau bahkan makan terpisah dari orang dewasa.
Orangtua, yang tidak memiliki banyak waktu dan yakin anak-anak mereka susah makan dan akan menolak setiap pilihan yang sehat akan selalu putus asa dan menerima pilihan dan selera anak yang terbatas.
Orangtua juga sering frustasi akan anak mereka yang susah makan. Mereka mengganti-ganti resep sebagai cara untuk menyusupkan sayuran ke dalam segalanya dari saus spaghetti sampai brownies. Mereka tak berhenti mengeluh betapa sulitnya anak mereka untuk makan dengan baik.
(Jepang memiliki tingkat obesitas terendah di dunia, sekitar 4 persen, beda tipis dengan Korea Utara, dan terkenal akan tingkat kesehatan dan keberlangsungan populasinya)
Di Jepang, apa yang dimakan bayi itu adalah penting. Tapi sama pentingnya adalah sikap dalam memberi makan si anak. Makan di Jepang adalah perkara kebersamaan, bahkan untuk anggota termuda. Bayi tidak seharusnya makan sendirian.
Supaya bayi merasa jadi bagian dari keluarga, orangtua memberi mereka makanan yang sama dengan mereka. Mulai saat bayi mulai makan, mereka makan makanan yang sama seperti orang dewasa. Bumbunya lebih ringan, atau dimodifikasi untuk usia balita tapi selain itu, bahan dasarnya tetap sama.
(Di Jepang penampilan itu penting; kado selalu dibungkus dengan apik, makanan selalu disajikan secara indah. Hal ini berlaku untuk makanan untuk anak-anak. Jika makanan itu disajikan secara menarik, dengan campuran warna dan tekstur yang ideal, orangtua di Jepang berkata bahwa bayi akan lebih suka makan)
Meski tingkat obesitas di dunia meningkat, negara-negara seperti Jepang, Korea utara, Italia, Perancis, dan Swedia terus menjaga tradisi budaya yang mendukung konsumsi berbagai macam makanan utuh segar, yang dimasak sendiri dengan bumbu-bumbu, dan tidak terburu-buru dalam menikmatinya bersama, baik di sekolah maupun di rumah.
Para orangtua di negara-negara ini, yang anak-anaknya menikmati kesehatan yang lebih baik dan tingkat obesitas yang jauh lebih rendah (kecuali Italy) daripada di Amerika, mengandalkan kebijakan kuno dan kebiasaan yang bersifat budaya yang telah berjalan secara turun temurun, daripada memperhatikan diet lemak yang selalu berubah, pemasaran agresif oleh produsen makanan, dan ahli nutrisi, yang cenderung kami lakukan di Amerika.
Ring 5 - Apakah Menanamkan Harga Diri Tinggi Pada Anak Merupakan Hal Berbahaya?
Kita mungkin berpikir meningkatkan harga diri itu penting karena bisa meningkatkan kegigihan (kemampuan untuk bangun setelah gagal dan tumbuh dari tantangan dan perjuangan bukannya menyerah dan dikalahkan olehnya). Kegigihan itu (bersama pengendalian diri dan motivasi) sangat penting sehingga sekarang dianggap sama pentingnya seperti IQ dalam menentukan kesuksesan.
Tapi itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh anak-anak kita secara alami; kegigihan adalah “sifat yang ditanamkan” yang ditumbuhkan oleh orangtua pada anak-anak mereka. Sebenarnya budaya kita yang memfokuskan untuk meningkatkan harga diri anak-anak kita memiliki cara yang sebenarnya menurunkan pengembangan dari kegigihan mereka.
Sebuah rasa terlalu tersanjung tidaklah mengarah kepada anak yang lebih bahagia, lebih kompeten, lebih percaya diri.
Namun, ini malah bisa menghilangkan kesempatan anak-anak untuk membangun rasa percaya diri sejati yang mereka dapatkan karena menyelesaikan pekerjaan yang sulit sendiri. Anak tidak hanya takut gagal, mereka akan merasa kurang percaya diri. Anak-anak yang selalu dipuji “pintar” akan merasa kurang pintar saat mereka membuat kesalahan.
Faktanya harga diri yang berlebih bisa membawa keburukan daripada kebaikan. Orang-orang dengan harga diri tinggi tidak selalu menjadi pemimpin yang baik; kerendahan hati lebih baik dari harga diri. Orang-orang dengan harga diri yang tidak stabil – sebuah kombinasi dari narsisme dan gengsi – akan lebih rapuh dan defensif, dan mudah marah serta agresif.
Bullies seringkali memiliki harga diri yang tinggi (sama dengan Adolf Hitler), dan anak-anak dengan harga diri tinggi yang juga berkecenderungan antisosial bisa memutarbalikan persepsi mereka mengenai diri mereka sendiri dan anak-anak lain.
Karena selalu ingin merasa baik, mereka bisa melakukannya dengan mengecilkan orang lain. Harga diri bukanlah obat mujarab untuk semuanya. Seorang pakar pernah menunjukkan bahwa orang-orang dengan harga diri rendah malah bisa jadi lebih baik, karena mereka akan berusaha lebih keras.
Ring 6 - Jika Harga Diri Bisa Membawa Pada Bahaya, Apa yang Bisa Menjadi Penawarnya?
Dalam sebuah artikel di Los Angeles Time tahun 2005, psikolog Roy Baumeister, yang dulunya sangat lantang mengunggulkan dalam mendorong harga diri anak-anak, menyesali pernyataan awalnya. Ulasan datanya membawa pada kesimpulan yang bertolak belakang. “Selama ini, saya harus minta maaf, rekomendasi saya adalah: Lupakan tentang harga diri dan lebihlah berkonsentrasi pada kontrol dan disiplin diri.
Di budaya Amerika Serikat, berbicara mengenai hal-hal yang Anda banggakan itu sangat diharapkan. Hal itu dipandang sebagai pertanda kepercayaan diri. Di Jepang, kebalikannya, berbicara mengenai kebaikan diri sendiri dianggap kurang sopan. Anak-anak belajar dari kecil bahwa kerendahan hati adalah bijak. Meminta anak-anak Jepang untuk berbicara mengenai kehebatan mereka adalah seperti mencabut gigi.
Di beberapa budaya lainnya, anak-anak tumbuh meyakini bahwa kesederhanaan adalah kebijakan. Rebecca, yang tumbuh di Swedia, di mana konsep Lagom, atau “secukupnya” berlaku, mengingat betapa amannya dia menjadi anak-anak di sini karena dia tidak harus menjadi istimewa.
Anda bisa membaur dengan aman tanpa ada risiko dikucilkan. “Secara umum, saya rasa orang Swedia lebih menekankan untuk menjadi orang baik, melakukan hal yang benar, bekerja dengan benar, lebih daripada membuat orang lain terkesan” katanya.
Latihan selama berjam-jam, di mana hasilnya didapatkan melalui upaya yang tulus dan bersungguh-sungguh; dari hal-hal inilah menurut para orangtua di Jepang asal dari harga diri tersebut. Tidak mengherankan pada sebuah survey nasional di Jepang, kata “upaya” dipilih sebagai kalimat paling disukai, diikuti oleh “kegigihan”.
Ketika Anda bekerja keras, mengatasi tantangan dan meraih sesuatu, ini memberikan Anda kepercayaan diri bahwa Anda memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan Anda sendiri.
Pola pikir yang Anda lihat di Jepang dan negara lain yang berorientasi upaya adalah sesuatu yang diteliti Carol Dweck, profesor psikolog di Universitas Stanford:
Dweck yakin bahwa pola pikir upaya-dulu, atau pertumbuhan memotivasi Anda untuk menghadapi tantangan. Seorang anak dengan pola pikir tumbuh mendapat pujian juga tapi lebih atas kualitas dalam kendalinya – kualitas pertumbuhan – seperti kemampuan untuk bekerja keras, berlatih, dan menghadapi kemunduran, dan berusaha terus.
Seorang anak dengan pola pikir tumbuh, yang melihat kualitas dirinya merupakan hal yang penting dan bisa dikembangkan, akan bisa memandang kegagalan sebagai jalan keberhasilan. Ini adalah sebuah pengakuan bahwa kesuksesan berasal dari kerja keras, bukan jalan pintas atau menunggu jatuh dari langit.
Christine Gross-Loh memiliki gelar Ph.D dari universitas Harvard dalam bidang sejarah Asia. Sebagai penulis dan pakar pengasuhan anak. Gross-Loh sekarang menulis untuk Mothering.com, dan telah diwawancarai oleh sejumlah media cetak dan program televisi. Gross-Loh tinggal bersama dengan keluarganya di luar Boston, Massachusetts.
Nita tersenyum senang saat menutup buku Parenting Without Border yang baru saja selesai dituntaskannya. Ia merasa banyak pengetahuan baru yang didapatnya dari buku ini. Ia pun membuka buku notes yang selalu dibawanya saat membaca buku ini, dan membaca ulang beberapa hal yang dicatatnya dari buku itu:
- Para orangtua merasa menjadi orangtua yang baik ketika kami merencanakan pengasuhan dengan matang,
- Riset memberi kesan bahwa tidur bersama (co-sleeping) itu lebih sinkron dengan kebutuhan utama anak akan kedekatan, dan pemisahan bayi baru lahir dengan ibunya bisa mengarah pada permasalahan tidur yang banyak ditakutkan oleh para orangtua Amerika.
- Anak-anak Jepang selalu diingatkan bahwa kepunyaan itu tidak untuk dibuang, digantikan, dan harus bisa memperlakukannya dengan baik dan penuh penghargaan.
- Apa yang anak butuhkan pasti ada alasannya, tapi tidak semua keinginan adalah kebutuhan.
- Memuji anak-anak dengan mengatakan betapa hebat atau menakjubkannya mereka bisa menghalangi mereka menghadapi tantangan untuk membantu membangun kegigihan.
Seorang anak dengan pola pikir tumbuh, yang melihat kualitas dirinya merupakan hal yang penting dan bisa dikembangkan, akan bisa memandang kegagalan sebagai jalan keberhasilan.
Terima kasih telah menyimak BaRing kali ini, semoga manfaatnya bisa Anda rasakan juga. Sukses selalu. Sampai bertemu di BaRing selanjutnya.
Jika ada ide dan masukan bisa email kami di: ingat@baring.digital.
Rekomendasi Baring Lainnya