EINSTEIN NEVER USED FLASH CARD – How Our Children REALLY Learn and Why They Need to Play More and Memorize Less
Kathy Hirsh- Pasek & Roberta Michnick Golinkoff
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Ana seorang calon ibu yang baru mengandung 3 bulan. Seperti layaknya ibu-ibu lainnya, tentu ia sangat ingin bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya kelak.
Sejujurnya ia sangat cemas bagaimana ia mengasuh bayinya nanti kalau sudah lahir, bagaimana mendidiknya menjadi anak yang cerdas, baik, dan bahagia, dan bagaimana menjaganya dari pengaruh buruk, dst.
Ia sering melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya mengasuh anak-anak mereka. Ada yang mengajari anaknya yang masih bayi untuk mengenal huruf, angka, dan nama-nama binatang dengan flash card; Ada juga yang sudah mengajak anaknya mengobrol meskipun anaknya baru berusia 3 bulan.
Ada yang sedari hamil sudah memperdengarkan calon bayinya dengan musik-musik klasik, ada juga yang mendidik anaknya dengan video-video pembelajaran untuk anak usia dini.
Ia penasaran mana cara mendidik anak yang paling tepat. Haruskah ia protektif? Haruskah ia sudah mengajarkan anak angka dan huruf selagi otaknya masih dalam tahap perkembangan? Atau, haruskah ia membiarkan anaknya berkembang secara alami dengan bereksplorasi sebebasnya tanpa banyak campur tangan orangtuanya?
Ia pun lalu membaca sebuah buku berjudul “Einstein Never Used Flash Card: How Our Children REALLY Learn and Why They Need to Play More and Memorize Less,” yang sahabatnya berikan sebagai kado saat pertama kali tahu bahwa temannya itu tengah mengandung.
Melihat judulnya, ia sangat penasaran kenapa seolah buku itu tidak menyarankan penggunaan flash card dan lebih menyarankan pendekatan bermain. Ia juga sangat penasaran bagaimana cara mengasuh anak usia dini yang tepat.
So, akankah ia menemukan jawaban di buku itu? Yuk ikuti perjalanan Ana dalam Baring berikut ini.
Ring 1 - Kenapa seolah Flash Card tidak disarankan dalam buku ini?
Dewasa ini timbul kecenderungan di mana orangtua ingin anaknya berkembang lebih cepat, terutama di aspek kecerdasannya. Kita sering melihat bagaimana orangtua berlomba-lomba mengajari anaknya yang masih bayi untuk mengenal berbagai konsep seperti angka, huruf, nama-nama binatang, nama-nama bunga, dan sebagainya dengan bantuan Flash Card.
Ada juga yang sedari mengandung sudah memperdengarkan calon bayinya dengan berbagai musik klasik yang dipercaya bisa menstimulasi otak anak.
Melihat trend yang seperti itu, mungkin Anda sebagai orangtua menjadi gusar karena tidak mau anak Anda tertinggal dari anak-anak lainnya yang sedari kecil sudah diberikan stimulasi otak yang intens.
Jika benar Anda menjadi gusar, dan ingin ikut berlomba-lomba menstimulasi otak anak Anda, Anda beruntung telah membaca ringkasan ini.
Ada beberapa alasan penting kenapa menstimulasi otak anak (bayi) bukan hanya dengan Flash Card, tapi juga dengan musik klasik atau pun metode stimulasi lainnya tidaklah efektif, dan justru berbahaya.
Pertama, pendekatan seperti itu justru membuat perkembangan kecerdasan anak terhambat.
Idealnya anak mengenal konsep dengan berinteraksi langsung dengan konsep tersebut, melalui sentuhan, merasakan bagaimana rasanya menyentuh benda/konsep itu, juga melihat secara langsung bagaimana bentuk nyata konsep itu.
Artinya, yang dibutuhkan adalah, anak berinteraksi langsung dengan konsep yang diperkenalkan dan bukan melalui gambar dan kata. Contoh, untuk memperkenalkan anak dengan konsep bola, maka jauh lebih baik untuk memberikan bola itu kepadanya dan membiarkan dirinya bermain-main dengan bola itu.
Dari situ, anak bisa mempelajari semua aspek tentang konsep bola. Dengan cara ini, anak belajar konsep beserta konteksnya, sehingga ia lebih paham apa kegunaan konsep atau benda itu, bagaimana cara menggunakannya untuk kebutuhannya.
Sedangkan dengan flash card, anak belajar konsep secara terisolasi dari konteks. Sehingga, kalau pun mereka bisa menyebutkan nama-nama binatang, tapi mereka tidak akan paham binatang itu ada di mana, makannya apa, bentuk nyatanya seperti apa, apa kegunaannya untuknya, dst.
Kedua, ekspektasi yang berlebihan pada si kecil akan membuat anak memiliki masalah psikologis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin sering anak bayi melihat ekspresi-ekspresi atau mendengar suara-suara tidak ramah seperti marah, kecewa, membentak, sedih, dst, maka hal itu akan membuat anak merespons ekspresi-ekspresi dan suara-suara itu secara berlebihan. Efeknya, anak bisa trauma dan menderita gangguan kecemasan bahkan sampai saat ia dewasa.
Bayangkan Anda seorang ibu yang sangat berharap bayi 7 bulan Anda sudah bisa mengenal berbagai konsep. Lalu, Anda pun mengajarkannya berbagai konsep dengan Flash Card. Tapi, anak Anda tidak kunjung paham satu konsep pun. Kira-kira bagaimana reaksi Anda?
Apa yang dikhawatirkan adalah, orangtua lantas kecewa dan menunjukkan ekspresi kekecewaan itu kepada si anak. Kalau ini terus-menerus terjadi, maka anak akan merespons ekspresi kecewa secara berlebihan. Di masa dewasanya nanti, ia akan sangat sensitif dengan ekspresi kecewa yang ditunjukkan kepadanya. Ia akan mudah tertekan dan overthinking melihat orang lain kecewa kepadanya.
Ketiga, pendekatan flash card dan sejenisnya untuk memperkenalkan konsep kepada anak membuat perkembangan anak berjalan tidak alami. Pada tahap awal, aspek yang berkembang bukanlah aspek kognitif/kecerdasan melainkan aspek sensorik (indera) dan aspek motorik (gerak).
Kalau kita “memaksa” anak untuk mengembangkan aspek kognitifnya terlebih dulu, ini akan membuat anak merasa tertekan sehingga mereka menyimpulkan bahwa belajar adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.
Nah itulah beberapa alasan kenapa menstimulasi otak anak dengan berbagai pendekatan seperti flash card justru bisa berdampak buruk untuk anak, terutama anak usia dini.
Lalu, bagaimana pendekatan yang tepat untuk membantu proses perkembangan anak usia dini?
Sebelum menjawabnya, mari kita bahas dulu bagaimana otak bayi berkembang. Dengan mengetahui bagaimana proses otak bayi berkembang, Anda akan memahami cara yang tepat untuk mendidik atau mengasuh mereka dan bisa menghindari cara yang salah.
Ring 2 - Bagaimana otak bayi berkembang?
Para pakar mengemukakan sebuah teori yang disebut “Critical Period Theory.” Teori ini menjelaskan bahwa 3 tahun pertama kehidupan bayi merupakan masa-masa kritis anak, di mana kalau periode ini terganggu, maka efeknya bisa bertahan seumur hidup dan sulit bahkan mustahil diubah.
Maksudnya bagaimana?
Jadi, ada beberapa skill yang harus dilatih di masa-masa kritis. Kalau skill ini baru dilatih setelah bayi melewati masa kritis, maka bayi tersebut tidak akan mampu menguasai skill itu dengan baik. Tak peduli sebesar apapun usaha untuk menguasai skill itu, ia tidak akan bisa menguasai skill itu seperti anak-anak lain yang sudah dilatih sejak 3 tahun pertama kelahiran mereka.
Apa saja skill itu?
Skill-skill yang hanya bisa dikembangkan di periode kritis atau periode reseptif adalah skill-skill yang “experience-expectant behavior”, yakni skill-skill yang paling dasar dan menjadi basis bagi penguasaan skill-skill lain, di antaranya adalah skill melihat, mendengar, menyentuh dan merasakan objek, dan skill makan.
Kalau bayi terlambat atau terhambat melatih skill ini, maka ia akan kesulitan untuk menguasai skill itu saat dewasa, meskipun mereka sudah berusaha keras.
Selain skill-skill yang “Experience-expectant behavior”, terdapat juga skill-skill yang “experience-dependent behavior,” yang antara lain adalah skill bermain catur, membaca, menulis, berhitung, dst. Singkatnya, ini adalah skill yang diperoleh karena pembelajaran yang disengaja. Tanpa dipelajari dengan disengaja, maka anak tidak akan bisa menguasai skill ini.
Kabar baiknya, skill ini bisa dilatih kapan pun. Tidak ada periode kritis untuk mempelajari skill ini.
Nah dari penjelasan ini, jelas sudah bahwa periode 3 tahun pertama seorang bayi adalah periode yang wajib digunakan untuk mengembangkan skill “experience-expectant behavior” nya. Sedangkan untuk melatih skill “experience-dependent behavior” nya bisa menunggu setelah perkembangan sensorik dan motoriknya matang.
Ini mematahkan anggapan bahwa 3 tahun pertama kehidupan anak adalah masa-masa yang baik untuk belajar alias meningkatkan kecerdasan/kognitif. Karena, yang dibutuhkan di 3 tahun pertama bukan itu, melainkan skill-skill dasar seperti melihat, mendengar, menyentuh dan merasakan.
Dengan menguasai skill-skill ini, anak punya pijakan untuk belajar skill-skill lainnya.
Dari penjelasan ini, sudahkah Anda mendapatkan gambaran bagaimana cara yang tepat untuk mendidik anak di usia dini? Yuk mari beranjak ke Ring berikutnya.
Ring 3 - Bagaimana cara yang tepat untuk mendidik anak di usia dini?
Setelah mengetahui bagaimana proses perkembangan otak bayi, maka Anda bisa membuat pendekatan mendidik yang tepat untuk anak Anda sesuai dengan prinsip perkembangan tersebut.
Ini berarti, Anda perlu menstimulasi kemampuan “Experience-expectant behavior” nya seperti kemampuan melihat, mendengar, menyentuh dan merasakan. Berikan ia benda-benda yang bisa menstimulasi kemampuan tersebut.
Kuncinya adalah, memberikan anak ruang dan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menambah pengalaman. Kedua, Anda perlu menemani dan berinteraksi dengan anak Anda dalam perjalanannya mengalami kejadian-kejadian di sekitarnya.
Karena, interaksi memungkinkan Anda berkomunikasi dengan anak Anda. Komunikasi yang ramah ini akan mengajarkan anak Anda berbagai hal tentang dunia dan tentang dirinya.
Interaksi dan komunikasi membantu anak menerjemahkan kejadian yang ia lalui. Dengan interaksi, kecerdasan anak berkembang secara alami tanpa pemaksaan.
Saat Anda berkomunikasi dengan anak Anda, Anda secara alami mendorong anak Anda untuk menceritakan kejadian yang dialami dan dilihatnya.
Paparkan anak dengan benda-benda di sekitarnya. Mulai dari mainan, binatang peliharaan, dst dan biarkan mereka bermain-main dengan hal-hal itu.
Sesekali ajak anak ke kebun binatang, sawah, wisata hutan, pantai, dst untuk mengenalkan anak Anda berbagai konsep secara alami. Alam terbuka memberikan stimulus yang kaya untuk kemampuan “experience-expectant behavior” anak.
Barulah setelah kemampuan ini berkembang, Anda bisa mengajarkannya skill-skill lain seperti berhitung, membaca, dan menulis.
Ring 4 - Apakah preschool dibutuhkan untuk menstimulasi perkembangan anak?
Tergantung metode pengajaran preschool-nya. Idealnya, preschool mengondisikan anak bisa bermain dan bereksplorasi sebebas-bebasnya dengan berbagai benda, suara, warna, dst.
Di samping itu, preschool juga perlu menyediakan kondisi sedemikian rupa agar anak bisa berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lain dengan ramah, aman, dan menyenangkan.
Tapi sebetulnya, tanpa preschool pun, Anda bisa mengondisikan anak untuk bermain dan bereksplorasi sebebas-bebasnya. Lingkungan rumah, lingkungan kompleks, bahkan screen pun bisa menjadi media belajar yang efektif untuk anak.
Ya, penulis buku ini juga menyarankan kita untuk mengajak anak menonton video-video edukasi seperti Teletubbies dan Barney. Ini karena video-video itu menyajikan cerita yang diulang-ulang. Sedangkan anak sangat suka mendengarkan pengulangan.
Why? Karena dari pengulangan, mereka bisa memprediksi pola yang disajikan pengulangan itu.
Kathy Hirsh-Pasek, Ph.D., bekerja sebagai Director of Temple Infant and Child Laboratory di Department of Psychology pada Temple University. Beliau menerima gelar sarjananya dari University of Pittsburgh dan gelar Ph.D. di University of Pennsylvania. Penelitiannya dalam bidang perkembangan bahasa, literatur dan pengenalan terhadap bayi dibiayai oleh National Science Foundation dan the National Institutes of Health and Human Development, dan the Department of Education (IES), dan telah menghasilkan 11 buku dan lebih dari 150 jurnal.
Roberta Michnick Golinkoff, menjabat sebagai H. Rodney Sharp Chair pada School of Education di University of Delaware dan juga seorang anggota Departments of Psychology and Linguistics.
Demikianlah bagaimana Ana menemukan jawaban. Sekarang ia sudah tahu bagaimana mengasuh anaknya di tahap awal perkembangannya, di antaranya adalah:
- Flash card tidak efektif untuk memperkenalkan anak berbagai konsep terutama untuk anak berusia 0-3 tahun.
- Anak akan belajar mengenal konsep dengan sendirinya saat ia berinteraksi dengan lingkungan, bermain, dan berkomunikasi. Mengenal konsep lewat pengalaman lebih memudahkan anak memahami konsep-konsep tersebut dibanding belajar dengan flash card karena belajar lewat pengalaman menyediakan konteks bagaimana konsep-konsep yang dipelajarinya bisa digunakan untuk kebutuhannya.
- Tiga tahun pertama kelahiran anak idealnya anak dipaparkan dengan hal-hal yang menstimulasi perkembangan inderanya seperti pendengaran, bicara, kemampuan merasakan, dst. Kalau anak dihambat dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan ini, maka risikonya adalah, setelah ia melewati masa kritis (3 tahun pertama kehidupan), anak akan kesulitan mengembangkan skill-skill tersebut.
- Tidak perlu gusar dan tergesa-gesa untuk mengajari anak skill membaca, menulis, menggambar, dst karena skill-skill ini bisa dikuasai kapan pun.
- Memasukkan anak ke preschool atau tidak tidaklah penting asalkan kita bisa menyediakan lingkungan yang mendukung untuk perkembangan anak.
Terima kasih telah menemani perjalanan Ana, semoga perjalanan ini bermanfaat untuk Anda. Akhir kata, sampai jumpa di Baring selanjutnya.
Jika Anda punya ide atau saran untuk baring.digital silakan email kami di ingat@baring.digital
Rekomendasi Baring Lainnya