CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE: Parenting to Inspire Values
Dorothy Law Nolte & Rachel Harris
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
ring 6
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Susi sangat stres menghadapi putra pertamanya yang sangat kasar terhadap adiknya yang masih berusia 3 tahun. Si abang sangat sering mengganggu si adik dan selalu saja ada hal-hal kecil yang membuat si adik menangis.
Di sisi lain, Susi sangat ingin seperti Yuni yang bisa membesarkan anak-anaknya tanpa harus bersusah payah seperti dirinya. Anak yang bisa bekerja sama, mendengarkan dan langsung melakukan apa yang diminta oleh si Yuni ke anaknya.
Di satu kesempatan, Susi dan Yuni pun bertemu. Susi menanyakan apa rahasia Yuni bisa membesarkan anak-anaknya tanpa harus menghadapi konflik yang menguras energi. Susi berkata kalau dia sering habis kesabaran untuk memberi tahu si anak sulungnya.
Belum lagi Susi harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini membuat ia juga sering bertindak kasar ke anak pertamanya yang ia anggap sebagai sumber masalah.
Susi ingin sekali bisa membesarkan kedua anaknya dengan penuh kasih sayang, membuat anak mau saling bekerja sama, tapi ia tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya.
Yuni pun menceritakan kalau dulu sewaktu anak pertamanya ia juga mengalami hal yang hampir sama. Ia berhasil seperti sekarang ini karena membaca buku CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE: PARENTING TO INSPIRE VALUES.
Mengetahui Susi sangat mirip dengan dengannya, Yuni mendorong Susi untuk membaca buku karya DOROTHY LAW NOLTE & RACHEL HARRIS ini.
Perpisahan mereka memberikan pencerahan baru bagi Susi dan ia pun langsung membeli bukunya. Ia tidak sabar pemahaman baru apa yang ia bisa dapatkan untuk ia bisa mendidik anaknya menjadi lebih baik.
Penasaran seperti apa cerita Susi dalam mendidik anak-anaknya? Mari kita simak di Ring berikut ini:
Ring 1 - Bagaimana cara anak-anak belajar?
Pada tahun 50-an para orangtua membesarkan anak-anak mereka dengan mengatakan kepada mereka apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Konsep membimbing anak belum banyak yang tahu. “Anak belajar lewat teladan” mengakui bahwa pengaruh terbesar orangtua adalah contoh yang mereka berikan dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak belajar lewat teladan memberikan pesan sederhana: anak-anak terus belajar dari orangtua mereka. Anak-anak Anda memperhatikan, mungkin tidak pada apa yang Anda katakan kepada mereka, tapi dari perbuatan Anda yang mereka lihat. Anda adalah contoh awal dan paling besar bagi mereka.
Ring 2 - Bagaimana anak belajar menjadi pengkritik?
Anak-anak itu seperti sponge. Mereka menyerap apapun yang kita lakukan dan katakan. Mereka terus belajar dari kita, apakah kita sadari atau tidak. Jadi kalau kita sampai terperangkap pola menjadi pengkritik – terus mengeluh tentang anak-anak, orang lain, atau dunia sekitar kita – kita menunjukkan pada mereka bagaimana untuk mencela orang lain, atau lebih buruk, mencela diri mereka sendiri. Kita mengajari mereka melihat hal-hal yang buruk tentang kehidupan, bukan kebaikannya.
Kritik bisa tersampaikan dengan banyak cara – kata-kata, nada suara, atau bahkan tatapan. Kita semua tahu bagaimana memberi pandangan penuh kritik, atau memberi aroma kritik dalam kata-kata.
Daripada berkata “Aduh, kamu kok sembrono sekali?” akan membantu jika ada alternatif respon seperti “bagaimana kejadiannya?” Ini menekankan pada kejadian daripada si anak itu sendiri. Hal ini tidak hanya mencegah si anak merasa tidak layak dan gagal, tapi juga memberi ruang untuk pembelajaran konstruktif.
Dengan mendorong anak menceritakan secara urut kejadiannya, Anda juga bisa melihat rentetan kejadian dan mungkin menemukan apa yang bisa diubah ke depannya.
Ring 3 - Bagaimana anak belajar menjadi kasar dan agresif?
Sebagian besar dari kita tidak menganggap diri kita kasar. Kita tahu bahwa kita bukanlah keluarga yang penuh kekerasan yang muncul di halaman depan surat kabar. Namun kita mungkin saja menciptakan atmosfir kebencian yang tidak disadari di rumah dengan kemarahan yang tidak terekspresikan yang bisa mempengaruhi dinamisme keluarga dan sewaktu-waktu meledak.
Pola agresivitas di keluarga bisa mengajari si anak bahwa berkelahi itu memang perlu, semacam solusi. Anak-anak akan belajar mengira bahwa hidup itu adalah pertarungan, bahwa mereka tidak akan diperlakukan dengan baik tanpa berkelahi, atau mereka harus berkelahi untuk bertahan hidup.
Banyak dari kita hidup sangat sibuk dan tahu betapa sulitnya mengerjakan semua yang dibebankan kepada kita. Seberapa baik kita merespon terhadap stres bergantung pada kemampuan kita untuk menangani perasaan tidak sabar, ketidakpuasan, terganggu, dan jengkel pada saat-saat tegang.
Perasaan yang “kecil” ini harus disadari dan diatasi dengan cara yang kreatif begitu ia muncul, jika tidak maka akan semakin besar. Pertama-tama berupa kebencian yang membara kemudian kemarahan yang menguat yang akan bisa menguat pada saat-saat kritis.
Akan jauh lebih baik untuk menyalurkan perasaan frustasi, bahkan jika hanya untuk diri kita sendiri ketika muncul karena anak-anak belajar bagaimana mengatasi perasaan tersebut yang berakar dari ketidaksabaran menjadi kekerasan sampai perkelahian langsung dengan mengobservasi bagaimana kita sendiri mengatasi perasaan tersebut.
Daripada terbawa amarah kita bisa meredam kemarahan dengan melakukan sesuatu yang bersifat fisik atau sekedar fokus pada pernapasan, bernapas dalam-dalam dan pelan-pelan menghitung sampai sepuluh, seperti yang dilakukan orangtua dulu. Tujuannya adalah menurunkan ketegangan dan kembali mengendalikan diri. Hal ini tidak hanya membantu kita pada saat-saat tegang, tapi juga memberikan contoh yang baik untuk anak kita.
“Ibu dan ayah sedang berdebat, tapi akhirnya kita bisa berkompromi. Jika kompromi tidak berhasil kita pasti menemukan cara lain”. Jaminan seperti ini bisa membantu anak-anak memahami bahwa setiap orang kadang-kadang perlu marah dan bertengkar, tapi bukan berarti mereka tidak saling menyayangi.
Sangat penting dan menenangkan untuk mengetahui bahwa kita tidak harus jadi contoh yang sempurna bagi anak-anak kita. Ada saat dimana kita hilang kendali. Jika kita mampu mengakui dan mengevaluasi kesalahan dan meminta maaf atas perilaku kita, anak-anak akan belajar pelajaran berharga – ayah dan ibu terus belajar cara menangani perasaan mereka sendiri juga.
Ring 4 - Bagaimana anak belajar menjadi penakut?
Anak suka bermain-main dengan ketakutan. Mereka suka dengan permainan hantu dan terkesima dengan cerita-cerita menyeramkan dan film horor.
Tapi hidup dengan ketakutan yang sesungguhnya adalah hal berbeda, apakah itu ancaman kekerasan, kekerasaan psikologis, pengabaian, penyakit bencana, atau ketakutan yang terlihat kecil seperti bully di sekitar rumah atau monster di bawah dipan.
Setiap hari hidup penuh ketakutan akan menghancurkan rasa percaya diri anak dan rasa keamanan mendasarnya. Ketakutan kurang memberikan lingkungan pendukung bagi anak untuk tumbuh, menjelajahi, dan belajar, sehingga yang tinggal hanya rasa khawatir, kegelisahan umum yang secara mendasar bisa menghancurkan caranya berhubungan dengan orang lain dan menghadapi situasi baru.
Banyak dari sumber ketakutan yang sesungguhnya dalam kehidupan anak-anak ternyata tidak disangka-sangka oleh orangtuanya. “Ibu, apakah ibu benar-benar akan hancur? Ibu tadi bilang kepada bibi Cathy.” Kadang-kadang anak mengartikan perumpamaan secara apa adanya.
Apapun alasannya, jika anak Anda takut, situasinya harus dianggap serius. Ketakutan itu menurut yang mengalaminya, dan kita perlu melihat dunia dari sudut pandang anak kita. Mengatakan sesuatu seperti “jangan konyol”, “itu bukan apa-apa” dan sejenisnya hanya menciutkan si anak. Ketakutannya akan terus tersimpan dan tumbuh.
Bagaimana mengetahui beda antara anak yang takut dengan yang hanya ingin diperhatikan? Jawabannya tidak bisa. Orangtua tidak seharusnya terlalu memikirkan apakah mereka dimanipulasi oleh kebutuhan emosional si anak. Kebutuhan anak akan perhatian sama benarnya dengan kebutuhannya akan makanan dan tempat tinggal. Dan kadang-kadang anak itu ketakutan dan juga butuh perhatian.
Ketakutan lain dari kita sebagai orangtua adalah jika anak kita akan mengalami yang kita alami saat kita seusia mereka. Sikap terlalu menyamakan yang terjadi dengan kita dan anak kita bisa membuat kita bersikap kurang tepat.
Orangtua harus mundur dan memberikan kesempatan kepada anak mereka untuk menjalani pengalamannya sendiri. Kita harus ingat bahwa anak kita berbeda dengan kita, dan mereka punya hak untuk merasakan derita mereka sendiri.
Anak-anak kita belajar bagaimana mengatasi ketakutan dengan mengobservasi bagaimana kita mengatasi ketakutan kita. Biarkan mereka menyaksikan bagaimana kita mencari dukungan dari pasangan, teman, dan keluarga saat kita membutuhkannya, dan bagaimana di lain waktu kita menawarkan dukungan dan jaminan kepada mereka juga.
Bagaimana kita mengakui perasaan kita dan mencari solusi kreatif pada masa sulit kita adalah contoh yang harus diikuti oleh anak-anak kita ketika mereka menghadapi krisis mereka sendiri.
Ring 5 - Bagaimana anak belajar menjadi percaya diri?
Akar makna dari kata dukungan adalah “memberi hati”. Ketika kita mendukung anak kita, kita memberi mereka keberanian dari hati kita ke hati mereka. Sudah tugas kita untuk membantu dan mendukung mereka saat mereka mengembangkan keahlian dan kepercayaan diri yang mereka butuhkan untuk mandiri.
Hal ini bisa jadi sangat sensitif. Tahu kapan harus ikut campur dan kapan untuk minggir, kapan memuji dan kapan memberi kritik membangun adalah seni, bukan sains.
Sudah biasa memuji untuk sebuah keberhasilan, tapi juga penting mengakui dan memuji anak-anak untuk langkah-langkah kecil yang sudah mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka.
Kita juga bisa mendukung anak-anak kita dengan membantu mereka mencapai tujuan, dan ada banyak cara untuk melakukannya. Kadang-kadang perlu membantu mereka sebelum mereka menjadi sangat kerepotan, dan kadang-kadang lebih baik mundur dan biarkan mereka memecahkan masalah mereka sendiri, meski kita bisa juga mendukung dengan kata-kata yang positif, tepukan di punggung, atau saran yang tepat.
Tapi berapapun usia mereka, kita jangan sampai terjebak mengerjakan segala sesuatu untuk mereka. Sangat penting bagi mereka untuk belajar bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam pekerjaan sehari-hari sesuai dengan usia dan kemampuan mereka. Dan sudah tugas kita untuk mendorong mereka seperti itu.
Anak harus belajar melakukan segala sesuatunya sendiri, dan anak harus bisa melakukannya dengan cara yang membuat anak bangga dan percaya diri akan pencapaiannya, bukan malu dan frustasi akan ketidakmampuannya untuk mengimbangi ritme yang ada di sekitarnya.
Perangkap lain yang sering kita terjebak adalah berusaha melindungi anak-anak kita dari kegagalan, kekecewaan, atau rasa sakit, sehingga tanpa sadar menciutkan hati mereka untuk mencoba hal-hal baru.
Kita tidak ingin membuat anak kita tersakiti, tapi ada saatnya kita harus membiarkan mereka mengambil risiko. Ibu harus mengubah perannya dari melindungi anaknya, menjadi mendukung perkembangannya, meski mungkin hasilnya tidak menyenangkan untuk keduanya.
Ring 6 - Bagaimana anak belajar menjadi penyabar?
Kesabaran membutuhkan toleransi. Toleransi di sini adalah, secara ikhlas menerima apa yang terjadi, bukan terkesan menerima tapi menggerutu. Ketika kita menerima hal yang tidak bisa kita ubah, dan berusaha mencari kebaikan dari situasi yang buruk. Sikap positif tidak hanya membuat kita lebih kuat saat berhadapan dengan situasi sulit, tapi bisa mengubah hasil akhirnya.
Menunggu dengan sabar itu bisa sulit bahkan untuk orang dewasa. Kita menjadi sabar atau setidaknya belajar menyembunyikan ketidaksabaran kita karena kita tahu hal itu tidak bisa diterima secara sosial. Terutama untuk anak-anak, menunggu itu sangat sulit.
Keseharian kita memberikan banyak sekali peluang untuk mengajari anak kita untuk menunggu dengan sabar. “Saya lapar” seorang anak menangis tidak sabar. Sambil menyiapkan makanan, kita bisa menjelaskan kepadanya bahwa pastanya perlu dimasak, sayurannya perlu dipotong-potong, dan jeruknya perlu dikupas.
Kita juga bisa membantu menunjukkan mereka cara untuk mengisi waktu. Menunggu di antrian bisa menjadi peluang untuk bercerita tentang sekolah atau kegiatan akhir-akhir ini yang belum sempat kita diskusikan.
Sebagai orang dewasa, sebagian besar dari kita belajar untuk menoleransi situasi dengan kesabaran. Meski tidak selalu mudah, penting bagi kita untuk berusaha memenuhi tantangan harian ini dengan anggun, sehingga memberikan contoh yang baik untuk anak-anak kita.
Ada saat-saat dalam kehidupan kita dimana sabar itu lebih sulit. Menunggu kelahiran bayi, anggota keluarga yang sedang dioperasi, tapi saat-saat itu adalah bagian normal dalam kehidupan. Cara kita merespon situasi tersebut akan mengajari anak-anak kita bagaimana mengatasi diri kita dalam situasi yang penuh tekanan.
Belajar menenangkan diri dan hati kita ketika dikelilingi oleh kekacauan adalah anugerah yang bisa kita wariskan kepada anak-anak kita. Bahkan pada waktu krisis, kita bisa menggunakan waktu menunggu itu untuk fokus pada diri sendiri dan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi apa yang muncul di depan.
Salah satu cara terbaik untuk mengajari anak-anak kecil melewatkan waktu adalah memelihara tanaman. Merawat dan menumbuhkan tanaman, menunggu masing-masing tunasnya untuk tumbuh, membuat anak memahami proses sesuatu itu terjadi.
Munculnya kehidupan dalam dunia menjadi peristiwa yang menarik dan mengajari anak-anak kita bahwa tumbuh itu butuh waktu dan alam tidak bisa diburu-buru.
Dorothy Law Nolte, Ph.D, adalah guru dan dosen senior dalam bidang pendidikan kehidupan berkeluarga. Rachel Harris, Ph.D adalah seorang psikoterapis dengan pelatihan pasca-sarjana dalam bidang terapi keluarga. Nolte dan Harris lama bersahabat dan menjadi rekan kerja selama lebih dari dua puluh tahun.
Begitulah Susi menemukan pencerahan baru untuk mendidik anak-anaknya. Berikut beberapa hal penting yang ia catat dan terapkan dalam hidupnya;
- Anak belajar lewat meniru perilaku orangtua.
- Jika anak hidup dengan kritikan, mereka belajar untuk mencela
- Jika anak hidup dengan kekerasan, mereka belajar berkelahi
- Jika anak-anak hidup dalam ketakutan, mereka belajar untuk khawatir
- Jika anak-anak hidup dengan dukungan, mereka belajar percaya diri
- Jika anak hidup dengan toleransi, mereka belajar kesabaran
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Susi, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini. Sampai jumpa di BaRing berikutnya. Sukses selalu.
Jika ada masukan dan ide untuk Baring.digital, silakan email ke Ingat@baring.digital.
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya