Grit: The Power of Passion and Perseverance
Angela Duckworth
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Fadil sedang bimbang. Di satu sisi, ia ingin menekuni dunia musik. Tapi di sisi lain, dia sadar bahwa dia tak memiliki bakat di bidang itu. Ia takut kalau-kalau dia tidak bisa sukses di bidang tersebut lantaran tidak berbakat.
Yach, seperti banyak orang, Fadil percaya bahwa bermusik diperlukan bakat. Mungkin saja seseorang bisa bermain musik. Akan tetapi, tanpa bakat, karya musiknya akan biasa-biasa saja, tidak akan menjadi masterpiece. Begitu pikirnya.
Namun demikian, keinginannya untuk menjadi musisi begitu besar. Sehingga dia sangat bimbang. Dalam hati ia bertanya-tanya, mampukah aku?
Dia juga bertanya-tanya, bagaimana agar bisa sukses di bidang musik meski tak punya bakat di bidang itu? Apakah bakat bisa ditumbuhkan? Ataukah bakat itu bawaan lahir dan tak bisa dikembangkan?
Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Dia pun lalu mencoba mencari pencerahan. Mulai dari membaca artikel, buku, dan mengikuti berbagai konten pengembangan diri di media sosial.
Salah seorang influencer menyarankannya membaca buku āGrit: The Power of Passion and Perseveranceā karya Angela Duckworth. Influencer tersebut berkata bahwa dalam buku tersebut, audiens akan tahu apa yang lebih penting dari bakat.
So, akankah Fadil mendapatkan jawaban dari buku tersebut? Yuk, temani perjalanan Fadil dalam BaRing berikut ini.
Ring 1 - Apa Gambaran Besar Isi Buku Ini?
Mana yang lebih Anda hargai antara dua hal berikut ini?
Anak yang berprestasi meskipun jarang sekali belajar, atau anak yang berprestasi karena rajin belajar?
Banyak orang lebih menghargai yang pertama. Berprestasi meskipun jarang belajar dianggap lebih keren dan lebih hebat. āNggak belajar aja nilainya 10 semua. Coba kalo rajin belajar, pasti jadi Einstein kedua, nih,ā demikian misalnya mereka akan berpikir.
Sedangkan berprestasi karena giat belajar dianggap hal yang lumrah, yang tidak mengherankan.
Tapi, mungkinkah seorang anak berprestasi tanpa belajar? Mungkinkah seorang anak berprestasi hanya dengan mengandalkan kecerdasannya saja?
Begitu juga dengan orang dewasa. Mungkinkah orang dewasa sukses dalam karirnya dengan hanya mengandalkan bakat dan kecerdasannya saja?
Jawabannya, secara kasat mata, mungkin. Banyak anak yang menceritakan dirinya atau temannya yang meskipun tidak pernah belajar bisa mendapatkan ranking 1. Begitu pula kalau kita melihat orang-orang hebat di dunia seperti Mozart, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg. Banyak yang mengelu-elukan mereka (terutama Bill Gates dan Mark Zuckerberg) yang meskipun drop out dari kuliah tapi tetap sukses di bidang mereka.
Tapi, apakah benar kesuksesan mereka hanya karena bakat dan kecerdasan mereka? Atau, jangan-jangan ada andil kerja keras mereka di balik semua itu?
Nah, inilah pertanyaan yang menjadi fokus pembahasan buku ini. Dalam buku ini, si penulisnya mengungkap apakah bakat dan kecerdasan, ataukah ketekunan dan sikap pantang menyerah yang berperan besar dalam kesuksesan seseorang.
Lebih jauh, penulisnya juga memberikan strategi bagaimana memperbesar peluang kesuksesan, tak peduli apakah kita memiliki bakat atau tidak.
Ring 2 - Manakah yang Lebih Berperan dalam Kesuksesan? Bakat atau Kegigihan?
Bakat dan kecerdasan memang sepintas terlihat menentukan kesuksesan. Akan tetapi, kalau kita teliti lebih dalam, kita akan mengetahui bahwa ternyata ada faktor yang jauh lebih penting.
Sering kita lihat anak-anak yang saat pertama kali masuk sekolah tampak menjanjikan. Mereka cerdas, banyak ide, solutif, dan mudah menangkap pelajaran. Akan tetapi, ketika pembelajaran telah berlangsung sebulan dua bulan, atau bahkan setahun, baru terlihat bagaimana anak-anak itu mulai menurun pencapaiannya.
Ini juga yang terjadi di United States Military Academy West Point dimana si penulis buku ini melakukan penelitian. Dari pengamatannya terungkap bahwa para taruna yang mendapatkan skor tertinggi dalam The Whole Candidate Score (sebuah tes yang digunakan sebagai syarat diterima di sekolah tersebut) tidak jauh berbeda dengan mereka yang skornya rendah. Banyak dari taruna yang mendapatkan skor tertinggi drop out hanya dalam beberapa bulan setelah mereka masuk sekolah tersebut.
Padahal, salah satu komponen tes tersebut adalah SAT (sebuah tes untuk mengukur kemampuan bernalar, kemampuan matematika, bahasa, membaca dan menulis, serta menguji keterampilan siswa dalam bidang tertentu). Bisa dikatakan, hampir sama dengan tes IQ, SAT mengukur kecerdasan seseorang.
Ini mengindikasikan bahwa kecerdasan atau bakat saja tidaklah cukup.
Penasaran dengan apa yang memperbesar peluang kesuksesan selain bakat & kecerdasan, penulis buku ini lantas mengadakan sebuah tes (yang disebut Grit Scores) kepada para siswa di sekolah militer itu. Hipotesis yang diajukannya adalah bahwa penentu kesuksesan bukanlah bakat & kecerdasan melainkan kegigihan.
Nah untuk membuktikan hipostesis tersebut, dia mengadakan Grit Scores dengan mengajukan berbagai pertanyaan kepada semua siswa, di mana pertanyaan-pertanyaan itu mengungkap apakah mereka termasuk orang yang tekun dan pantang menyerah atau tidak.
Dari tes tersebut terungkap tidak adanya korelasi antara skor The Whole Candidate Score dengan skor Grit Test. Tidak semua siswa yang skor The Whole Candidate Score-nya tinggi mendapatkan skor Grit yang tinggi pula. Demikian sebaliknya.
Dan ternyata, skor Grit jauh lebih akurat dalam memprediksi mana siswa yang tetap bertahan dan mana yang akan drop out dibanding skor The Whole Candidate Score. Dan ini membuktikan kebenaran hipotesis penulisnya.
Namun begitu, si penulis tidak puas hanya menguji satu sekolah. Untuk semakin meyakinkan kebenaran hipotesisnya, dia pun mencoba melakukan tes Grit di berbagai sekolah yang berbeda. Dan ternyata hasilnya sesuai dengan hipotesisnya bahwa kegigihan & sikap pantang menyerah berperan jauh lebih besar dalam kesuksesan.
Ring 3 - Mengapa Kegigihan Penting dalam Mencapai Kesuksesan?
Di Ring 2 telah disebutkan adanya siswa yang di awal tampak menjanjikan tetapi ternyata setelah berbulan-bulan menjalani proses pembelajaran mereka tumbang atau prestasinya menurun.
Kalau ditelusuri secara mendalam, penyebab utamanya adalah rendahnya daya juang mereka. Mungkin mereka memang memiliki bakat dan kecerdasan bawaan lahir. Dan, bakat serta kecerdasan ini cukup untuk menghadapi tantangan dalam tingkat tertentu. Akan tetapi ketika tingkat kesulitan/tantangan jauh lebih besar, mereka langsung menyerah tanpa bersedia berkorban dan menderita untuk bisa menghadapi tantangan tersebut. Inilah kenapa kegigihan sangat penting.
Kegigihan berarti kita bersedia merasakan penderitaan untuk menghadapi tantangan yang di luar kemampuan kita. Kegigihan juga berarti bersedia untuk mencoba kembali meskipun telah gagal berulang kali.
Bayangkan seseorang belajar berenang. Akan tetapi, dia tidak mau mencoba berenang di kolam renang berkedalaman 1,5 meter dan hanya mau berenang di kolam renang 60 cm yang jauh lebih mudah. Apakah orang tersebut akan berhasil menguasai skill berenang? Tentu tidak, bukan?
Atau, dia bersedia mencoba berenang di kolam renang 1,5 meter. Akan tetapi, begitu merasa kesulitan, dia langsung menyerah. Tentu, dengan sikap seperti ini mustahil skill berenang ia kuasai.
Dengan kegigihan, orang yang awalnya biasa-biasa saja bisa melampaui mereka yang berbakat. Bahkan, mereka bisa menumbuhkan & mengembangan bakat baru. Ini karena, kemampuan bukanlah kualitas yang tetap/fixed, yang akan sama tak peduli kemarin, sekarang, atau besok, melainkan berubah tergantung seberapa besar kita melatihnya dan bagaimana kita melatihnya.
Ring 4 - Bagaimana Mengembangkan Sikap Pantang Menyerah dalam Diri Kita?
1. Passion
Prinsip utama untuk mengembangkan karakter kegigihan adalah memiliki passion/minat.
Yach, kita sudah sangat familiar akan hal ini. Kalau kita tak punya passion dalam bidang yang kita tekuni, mana mungkin kita akan bersedia berkorban demi mencapai sukses di bidang tersebut.
Ada 2 cara bagaimana passion memotivasi kita. Pertama, passion menjadikan kita mencintai bidang yang kita tekuni. Semakin cinta kita pada apa yang kita kerjakan, maka semakin besar kemauan kita untuk berkorban di bidang itu.
Kedua, passion memberikan kita arah/direction ke mana kita akan menuju. Passion memberikan kejelasan apa yang ingin kita capai. Semakin jelas tujuan kita, maka akan semakin bersemangat dan fokus kita mencapainya.
2. Purpose
Barusan sudah dijelaskan kalau passion memberikan arah/tujuan. Akan tetapi, umumnya tujuan yang lahir dari passion adalah tujuan sempit, tujuan yang hanya berkaitan dengan diri kita, dengan keinginan pribadi kita.
Dan, tujuan seperti ini tidak terlalu powerful dalam menghadapi tantangan yang sulit. Banyak orang yang menyerah dalam menghadapi tantangan justru karena mereka berpikir bahwa apa yang mereka cari, apa yang mereka kejar tidaklah berharga dan layak diperjuangkan.
Yach, seringkali di saat kita baru mengejar passion kita, kita sangat gigih mencapainya. Kita merasa bahwa passion tersebut adalah panggilan hidup kita. Akan tetapi, begitu mengalami rintangan yang berat, kita mulai mempertanyakan apa yang sebetulnya kita cari, kita mulai mempertanyakan apa makna passion kita bagi hidup kita. Tak jarang kita akan merasa bahwa mengejar passion itu hanyalah bentuk keegoisan kita.
Di sinilah diperlukan āpurposeā. Penulis buku ini memaknai āpurposeā sebagai tujuan yang tidak berkaitan dengan keinginan sempit kita melainkan berkaitan dengan kepentingan banyak orang. āPurposeā berarti kontribusi yang ingin kita berikan demi kebaikan banyak orang.
āPurposeā jauh lebih powerful dibanding ātujuanā yang lahir dari passion. Karena, āpurposeā memberikan kesan kepada kita bahwa apa yang kita lakukan penting bagi kebaikan banyak orang. Memiliki āpurposeā akan membuat kita merasa berharga, membuat kita merasa bahwa hidup kita berarti.
Nah berkaitan dengan mengembangkan sikap pantang menyerah, kita bisa menghubungkan passion kita dengan purpose kita. Misal, kita punya passion di bidang musik. Agar kita pantang menyerah berkecimpung di bidang musik maka hubungkan passion bermusik kita dengan āpurposeā kita. Misalnya, purpose kita dalam menekuni passion bermusik adalah untuk menghibur banyak orang karena hidup tanpa hiburan akan terasa sangat hambar dan tak tertanggungkan.
3. Harapan
Harapan adalah keyakinan bahwa hari esok akan lebih baik dari sekarang.
Ada 2 bentuk harapan yang bisa muncul dalam diri kita. Pertama adalah harapan yang pasif. Ini berarti, kita percaya bahwa hari esok lebih baik dari sekarang tanpa berusaha mewujudkannya.
Ini adalah harapan yang semu, yang dengan mudah bisa dipatahkan oleh realitas. Kalau realitasnya kita tak berusaha untuk menggapainya, kalau realitasnya kita masih di titik yang sama, maka pikiran bawah sadar kita pun akan berkata, āGimana kamu bisa yakin hari esok akan lebih baik? Sampai sekarang aja kamu masih di titik awal kamu.ā
Kedua, harapan yang aktif. Ini berarti kita berusaha dulu baru kita yakin kalau hari esok akan lebih baik. Kita yakin hari esok lebih baik karena kita telah berusaha untuk mewujudkannya dan usaha tersebut membuahkan hasil.
Inilah harapan yang kokoh, yang bisa memotivasi kita dalam jangka waktu yang lama. Dan, inilah harapan yang dimaksud oleh penulis buku ini.
Sehubungan dengan mengembangkan sikap pantang menyerah, ini berarti kita perlu berusaha meningkatkan diri kita, meningkatkan kemampuan diri kita agar tercipta harapan bahwa kita bisa menghadapi tantangan hari esok. Ketika tercipta harapan ini dalam diri kita, maka kita pun akan lebih gigih mencapai kesuksesan kita.
Angela Duckworth merupakan pendiri dan CEO Character Lab, sebuah organisasi nirlaba yang misinya adalah memajukan wawasan ilmiah yang membantu perkembangan anak-anak. Dia juga merupakan seorang profesor psikologi di University of Pennsylvania dan pada tahun 2013 dia dinobatkan sebagai MacArthur Fellow. Sebelumnya, ia merupakan seorang guru Matematika dan Sains di sekolah Negeri di Kota New York, San Francisco, dan Philadelphia.
Setelah membaca buku āGritā, Fadil pun mendapatkan beberapa insight di antaranya:
1. Kegigihan jauh lebih penting dibanding bakat dan kecerdasan dalam mencapai kesuksesan. Sebuah penelitian di United States Military Academy West Point menunjukkan hal ini.
2. Alasan kenapa kegigihan lebih penting dari bakat adalah karena orang yang berbakat belum tentu mampu menghadapi tantangan yang di luar kemampuannya. Sedangkan orang yang gigih, meskipun berulang kali gagal, dia akan tetap berusaha menghadapi tantangan tersebut.
3. Kunci untuk membangun kegigihan antara lain memiliki passion, memiliki āpurposeā terkait dengan passion tersebut, dan memiliki harapan yang aktif (harapan yang lahir karena kita mengusahakannya).
4. Purpose adalah tujuan yang berkaitan dengan kebaikan banyak orang, bukan hanya kepentingan sempit pribadi. Purpose memberikan kesan kepada kita bahwa hidup kita bermakna dan layak diperjuangkan.
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Fadil, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di Baring selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital dan jika Anda ingin mendalami buku āGritā lebih lanjut, Anda bisa memesannya di sini.
Rekomendasi Baring Lainnya