
The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable
Nassib Nicholas Thaleb
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Dony tiba-tiba tersenyum sendiri saat tengah bekerja di depan komputer. Rupanya, ia teringat akan sikapnya dulu yang begitu percaya diri dengan pengetahuan dan kemampuan sains-nya, yang membuatnya merasa tahu semua hal serta merasa semua hal ada dalam kendalinya.
Tapi, setelah membaca buku karya Nassim Nicholas Taleb yang berjudul “Black Swan: The Impact of the Highly Improbable,” dia jadi sadar betapa kemampuannya sebagai seorang ilmuwan sangatlah terbatas. Tak peduli secanggih apapun alat-alat yang dimilikinya untuk mengamati sesuatu, tetap saja akan ada hal yang luput dari pengamatannya.
Awal mula dia mengenal buku itu ketika dia kesulitan memecahkan sebuah misteri yang mengganggunya. Kemudian, salah seorang temannya yang juga sama-sama berprofesi sebagai ilmuwan memberinya buku tersebut sebagai referensi yang diharapkan bisa membuka mata Doni dan membuatnya lebih peka akan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Temannya berpikir, siapa tahu kemungkinan-kemungkinan itu bisa membantu Doni memecahkan misteri yang sedang ditelitinya.
Membaca judul buku itu, Doni pun bersedia untuk membacanya sampai tuntas. Seperti temannya, dia juga berharap dari buku itu ia mendapatkan insight-insight yang dibutuhkan dalam memecahkan misteri yang sedang ditelitinya.
Nah, berikut ini adalah flashback perjalanan Doni dalam mencari insight di buku “Black Swan” karya Nassim Taleb. Selamat menyimak.
Ring 1 - Apa Gambaran Besar Isi Buku Ini?
Banyak orang yang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan pengalaman empiris alias pengalaman yang bisa ditangkap dengan panca indera. Padahal, apa yang kita lihat, dengar, cium, atau rasakan belum tentu mencerminkan kejadian yang sebenarnya.
Contoh mudah saja adalah saat kita menaruh pensil di dalam segelas air putih. Pensil itu akan tampak bengkok, right? Tapi, sebetulnya bentuknya tidaklah berubah sama sekali. Hanya saja, mata kita “menipu” diri kita. Contoh lain, tanpa belajar ilmu Fisika, kemungkinan besar kita akan masih mengira bahwa bumi tidaklah berputar karena kita tidak merasakan perputaran itu.
See? Pengalaman inderawi tidaklah mencukupi. Pengalaman ini memiliki banyak keterbatasan. Tapi sayangnya, banyak orang, bahkan juga ilmuwan, yang menyimpulkan kejadian-kejadian hanya berdasarkan pengalaman empiris seperti ini.
Hal ini menyebabkan banyak di antara kita yang tidak punya persiapan untuk menghadapi kejadian yang tidak sesuai dengan pengalaman empiris kita. Serangan teroris di Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang menewaskan ribuan orang, menurut penulis buku ini, terjadi karena tak banyak orang yang terpikirkan akan kemungkinan terjadinya serangan seperti itu. Sehingga, tidak ada sama sekali langkah antisipasi untuk mencegah kejadian tersebut.
Nah, kejadian-kejadian tak terduga seperti inilah yang menjadi inti perhatian buku ini. Buku ini membahas betapa pengetahuan manusia sangat terbatas. Tak peduli secanggih apapun peralatan yang digunakan untuk mengamati alam semesta dan juga kehidupan masyarakat, tak peduli sebaik apapun metode yang digunakan untuk mengamati, tetap saja akan ada hal-hal yang luput dari pengamatan. Apalagi kalau pengamatannya hanya berdasarkan pengalaman empiris.
Buku ini memberikan peringatan kepada kita agar kita tidak terlalu terlena dan terlalu percaya diri dengan pengetahuan kita. Bukan itu saja, buku ini juga menjelaskan penyebab kenapa kejadian tak terduga seperti ini muncul dan bagaimana kita bisa mencegah kemunculannya.
Ring 2 - Kenapa Judulnya “Black Swan”? Apa Maksudnya menurut Penulis Buku Ini?
Penulis buku ini sengaja menggunakan istilah “Black Swan” untuk merujuk fenomena munculnya kejadian-kejadian yang tak terduga. Istilah ini ia gunakan karena dulu di benua Australia hanya ada angsa putih yang membuat penduduk asli setempat mengira bahwa yang namanya angsa pasti berwarna putih. Dalam kata lain, ini membuat mereka berpikir bahwa bulu putih merupakan salah satu ciri atau karakteristik dari angsa. Kalau tidak berwarna putih, berarti bukan angsa.
Tapi setelah penjajah Eropa menyerbu benua itu dan membawa angsa hitam, maka barulah penduduk setempat tahu bahwa ternyata ada angsa yang berwarna hitam. Ini membuat definisi mereka tentang angsa berubah.
Nah, kenapa penduduk asli benua Australia awalnya menganggap bahwa angsa pasti berwarna putih adalah karena mereka menyimpulkan definisi angsa hanya berdasar pada pengalaman empiris mereka. Dan, seperti yang dijelaskan di Ring 1, pengalaman seperti ini seringkali punya keterbatasan.
Seandainya saja penduduk asli benua itu tidak mengandalkan hanya pengalaman empiris, maka mereka akan lebih terbuka akan adanya kemungkinan lain. Keterbukaan ini akan membuat mereka terhindar dari keterkejutan manakala mereka melihat adanya angsa berwarna hitam atau warna-warna lainnya.
Demikianlah kenapa penulis buku ini menggunakan judul “Black Swan” alias “Angsa Hitam.” Dan, dia (si penulis buku ini) menyebutkan 3 karakteristik dari fenomena “Black Swan” sebagai berikut:
- Tidak terduga dan terprediksi.
- Membawa dampak yang ekstrem.
- Karena tidak terprediksi, maka membuat orang-orang berpikir bahwa fenomena black swan tidaklah ada.
-----
Tiga karakteristik inilah yang membuat fenomena “Black Swan” patut diakui keberadaannya dan diwaspadai kemunculannya. Sedangkan kecenderungan banyak orang, terutama para ilmuwan adalah justru terlalu percaya diri bahwa semua hal berada dalam kendali dan prediksi mereka. Ini membuat mereka buta akan fenomena “Black Swan.”
Ring 3 - Apa yang Menyebabkan Munculnya Fenomena “Black Swan”?
Di Ring 1 dan 2 telah dijelaskan bahwa penyebab munculnya fenomena “Black Swan” adalah kecenderungan manusia untuk mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pengalaman empiris mereka.
Tapi, sebetulnya penyebabnya tidak terbatas hanya pada itu saja. Meskipun seorang ilmuwan telah menggunakan peralatan canggih dalam mengamati suatu kejadian, tidak selalu mereka akan mendapatkan kesimpulan yang akurat. Penyebabnya bukan karena faktor luar melainkan faktor dalam diri mereka sendiri, yakni pikiran mereka.
Ya, penulis buku ini menjelaskan bahwa di samping kecenderungan berpikir empiris, penyebab lain kenapa fenomena “Black Swan” muncul adalah keterbatasan pikiran alias mesin berpikir manusia itu sendiri.
Dijelaskan di buku ini bahwa otak manusia pada awalnya didesain bukan untuk berpikir melainkan untuk menghasilkan respons-respons reflek dan instingtif. Respons-respons ini diperlukan oleh nenek moyang manusia dalam menghadapi antagonisme alam baik berupa predator (binatang buas), petir, maupun bencana alam. Namun, dalam kehidupan modern yang mana tantangannya sudah bukan lagi antagonisme alam melainkan situasi sosial dan ekonomi, maka otak warisan nenek moyang itu sudah tidak terlalu berperan. Namun demikian, nyatanya cara kita berpikir masih banyak dikendalikan oleh otak “purba” warisan nenek moyang kita ini. Dan, inilah yang menyebabkan terbatasnya mesin berpikir manusia, di mana keterbatasan ini menyebabkan manusia menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang keliru dalam mengamati berbagai kejadian yang berbeda-beda.
Salah satu keterbatasan mesin berpikir manusia adalah, manusia cenderung membuat kesimpulan berdasarkan kejadian yang terdahulu. Sebagai contoh, karena kejadian tsunami aceh, orang cenderung mengidentikkan gempa dengan tsunami. Sehingga, pada saat terjadi gempa Palu, perhatian semua orang tertuju pada laut karena khawatir akan terjadinya tsunami di laut Palu, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lainnya. Akibatnya...Boom! Ketika tersiar kabar telah terjadi likuifaksi di daerah yang juga terkena gempa, maka kabar itu membuat kita semua tercengang tanpa tahu harus berbuat apa.
Di sini, pola kejadian lama tidaklah selalu memadai untuk menjelaskan atau memprediksi kejadian berikutnya.
Bentuk lain keterbatasan mesin berpikir manusia yang membuatnya buta akan fenomena “Black Swan” adalah bias konfirmasi.
Bias konfirmasi adalah kecenderungan di mana kita hanya mau mendengar dan melihat apa yang kita mau alias kita percayai. Kecenderungan ini merupakan musuh besar bagi para ilmuwan. Karena saking berharapnya seorang bahwa teorinya benar, maka seringkali mereka terjatuh pada kecenderungan ini, dengan mencari-cari HANYA bukti yang mendukung teorinya dan mengabaikan bukti-bukti yang mematahkan teorinya.
Kecenderungan ini tentu membuat kita (dan para ilmuwan) tertutup matanya akan kemungkinan lainnya yang mungkin saja eksis.
Ring 4 - Apa Dampak dari Fenomena “Black Swan”?
Tadi sudah sedikit dijelaskan di Ring 1 dan Ring 2 bahwa dampak dari fenomena “Black Swan” adalah ketidaksiapan diri kita dalam menghadapinya. Ketidaksiapan ini bisa melahirkan berbagai efek, mulai dari kerusakan dan kematian ribuan orang seperti yang terjadi pada peristiwa “September 9/11”, penyesalan, trauma yang mendalam, bencana ekonomi dan kesehatan seperti pada pandemi covid sekarang, dst.
Tapi bukan hanya itu saja, ketidaksiapan ini juga semakin memperparah dampaknya karena ketidaksiapan ini membuat kita tidak memiliki langkah penanggulangan sama sekali untuk menghadapi kejadian tersebut.
Asuransi kecelakaan muncul karena kita tahu bahwa kejadian kecelakaan mungkin saja terjadi dan asuransi tersebut digunakan untuk menghadapi efek dari kecelakaan tersebut. Ini berkebalikan dengan fenomena “Black Swan.” Karena fenomena “Black Swan” tidak terpikirkan sama sekali, maka kita tidak memiliki langkah apapun untuk menanggulangi masalah yang timbul akibat munculnya fenomena itu.
Ring 5 - Apa yang Harus Dilakukan untuk bisa Mengantisipasi “Black Swan”?
Penulis buku ini menyarankan agar kita jangan terlalu percaya diri dengan pengetahuan kita. Karena sangat mungkin pengetahuan kita sangat sempit yang membuat kita tidak memahami situasi dengan baik. Oleh karena itu, menurut penulis buku ini, kita perlu memberikan perhatian kepada hal-hal yang tidak kita tahu. Dalam arti, kita perlu menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya agar pemikiran kita tidak sempit.
Dulu sebelum masyarakat mengenal tsunami, orang mungkin berpikir bahwa berlindung di pinggir pantai di kala terjadi gempa adalah keputusan yang aman. Tapi setelah masyarakat memiliki pengetahuan tentang tsunami, maka mereka tahu bahwa berada di pinggir pantai di kala terjadi gempa bisa sangat berbahaya.
Kedua, untuk mengantisipasi fenomena “Black Swan”, kita perlu mengakui dan menyadari bahwa peristiwa-peristiwa tak terduga senantiasa ada dan sewaktu-waktu bisa muncul dan mempengaruhi hidup kita.
Pengakuan ini akan membuat kita lebih waspada dan tidak terlalu percaya diri bahwa semua hal berada di dalam kendali diri kita. Mengakui bahwa tak semua hal berada dalam kendali diri kita membantu kita menghemat energi. Seringkali dalam menghadapi masalah besar, kita terlalu memaksa diri kita untuk bisa mengatasi masalah itu sendirian. Padahal, bisa saja masalah itu di luar kendali diri kita, yang artinya kalau kita memaksa diri untuk mengatasinya sendiri, kita memaksa diri kita untuk mengendalikan sesuatu yang di luar kemampuan kita. Dan, ini tentu hanya membuang energi dan berujung kesia-siaan.
Di samping itu, kita juga perlu memiliki pengetahuan tentang keterbatasan mesin berpikir kita yang membuat kita buta akan kemungkinan lain. Dengan memiliki pengetahuan ini, kita akan lebih peka ketika pikiran kita terjatuh pada kecenderungan-kecenderungan berpikir yang keliru.
Nassim Nicholas Taleb adalah seorang esais, ahli matematika statistik, yang mengabdikan diri untuk meneliti di bidang keacakan, probabilitas, dan ketidakpastian. Bukunya “Black Swan: The Impact of the Highly Improbable” telah dinobatkan oleh The Sunday Times sebagai satu dari 12 buku paling berpengaruh sejak Perang Dunia ke-2.
Setelah membaca buku “Black Swan”, akhirnya Doni mendapatkan banyak insight yang membantunya memecahkan misteri yang diamatinya. Beberapa di antaranya adalah:
- Salah satu kecenderungan berpikir manusia yang seringkali membuat mereka tidak peka akan adanya kejadian tak terduga adalah mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pengalaman empiris.
- Kecenderungan lain dari pemikiran manusia adalah, manusia seringkali mengambil kesimpulan berdasarkan kejadian serupa di masa lalu. Padahal, pola kejadian di masa lalu tidak selalu memadai untuk memprediksi dan menjelaskan kejadian hari ini atau hari esok.
- Mesin berpikir manusia juga memprogram manusia untuk berpikir secara “bias konfirmasi”, yakni sebuah kecenderungan di mana kita hanya mau mencari bukti yang mendukung asumsi kita dan mengabaikan bukti yang mematahkan asumsi kita.
- untuk mengantisipasi kemunculan fenomena “Black Swan”, kita perlu mengakui bahwa fenomena “Black Swan” memang ada, bahwa dia memang eksis akibat keterbatasan pengetahuan manusia. Dengan pengakuan ini, maka kita jadi lebih waspada. Kedua, kita juga perlu untuk membekali diri kita dengan pengetahuan mengenai keterbatasan mesin berpikir kita sendiri yang membuat kita salah memahami sesuatu. Dengan memiliki pengetahuan ini, maka kita jadi lebih peka manakala pikiran kita sedang terjebak pada kesalahan-kesalahan berpikir tersebut.
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Doni, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di BaRing selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya
