THE MIND AND THE BRAIN (Neuroplasticity and the Power of Mental Force)
Jeffrey M. Schwartz & Sharon Begley
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Nadila seorang perempuan yang mudah penasaran. Salah satu hal yang membuatnya penasaran sampai hari ini adalah bagaimana kesadaran dan pikiran muncul. Seperti kebanyakan orang, dia berpikir bahwa kesadaran muncul dari otak. Tapi, dia juga bertanya-tanya di bagian otak yang mana kesadaran muncul? Bagian otak mana yang berfungsi untuk mengaktifkan kesadaran?
Oya, yang perlu Anda ketahui, Nadila bukanlah seorang mahasiswa filsafat, juga bukan mahasiswa biologi, psikologi, atau pun neurosains. Tapi entah kenapa dia sangat tertarik mengulik tentang otak dan pikiran. Rasanya mengganjal saja kalau misteri itu tidak terungkap.
Mungkin Anda juga pernah terbesit pertanyaan yang diajukan Nadila? Mungkin juga setiap orang pernah terbesit pertanyaan itu. Kalau ya, sebenarnya ini hal yang wajar karena pada dasarnya manusia memang punya sifat penasaran. Di samping itu, pertanyaan tentang dari mana kesadaran muncul bisa menjadi dasar bagi keyakinan spiritual kita.
Nah kembali ke Nadila, singkat cerita rasa penasarannya itu mengantarkannya membaca buku “The Mind and The Brain: Neuroplasticity and the Power of Mental Force” karya Jeffrey M. Schwartz & Sharon Begley. Meskipun belum tahu pasti isi buku itu, tapi ia sudah punya gambaran besar bahwa buku ini menjawab berbagai pertanyaannya tentang otak, pikiran, dan kesadaran. Seperti, apa otak dan pikiran itu sama atau berbeda, bagaimana kesadaran muncul, dst.
Nah apakah Anda juga punya pertanyaan yang sama dengan Nadila? Jika ya, yuk ikuti perjalanannya mencari jawaban dari buku “The Mind and The Brain” dalam Baring berikut ini.
Ring 1 - Apakah Otak Berbeda dari Pikiran. Benarkah Demikian? Apa Perbedaannya?
Ya, benar. Perbedaanya adalah, otak adalah materi yang mengatur berbagai fungsi tubuh seperti gerak, penglihatan, napas, kebiasaan, pendengaran, peredaran darah, dst.
Sedangkan “mind” alias pikiran adalah elemen manusia yang memungkinkan kita untuk bisa berpikir, menyadari sesuatu, memahami sesuatu, dan merasa.
Pikiran tidak memiliki wujud material alias wujud konkret yang bisa disentuh dan dilihat, tapi keberadaannya bisa dibuktikan. Sedangkan otak memiliki wujud material yang kasat mata.
Ring 2 - Saya Sering Mendengar Bahwa Pikiran Lahir dari Otak, di mana tanpa Otak Maka Tidak akan Ada Pikiran. Bagaimana Menurut Buku Ini?
Ya, memang benar bahwa pikiran tidak akan muncul tanpa otak. Tapi, itu bukan berarti bahwa otaklah yang memproduksi pikiran. Otak hanyalah kendaraan bagi pikiran untuk menampakkan dirinya.
Binatang memiliki otak, tapi tidak memiliki pikiran yang bisa menghasilkan kesadaran, pemikiran/ide, dan pemahaman.
Sedangkan manusia, otak manusia berisi pikiran yang menghasilkan bukan hanya kesadaran, pemikiran, dan pemahaman, tapi juga free will alias kehendak bebas.
Apa itu free will?
Untuk menjelaskannya mari kita mulai dari rasa lapar. Sekilas, satu-satunya hal yang mendorong manusia untuk makan adalah rasa lapar, sebuah perasaan yang alami, yang muncul dari “sananya” tanpa diciptakan oleh manusia.
Tapi, berbeda dengan binatang, meskipun lapar, manusia tetap bisa memilih untuk makan atau menahan lapar. Nah, kemampuan manusia untuk melawan dorongan alami inilah yang disebut free will alias kehendak bebas.
Tapi, kemampuan kehendak bebas bukan itu saja. Kehendak bebas juga bisa mengarahkan manusia untuk melakukan sesuatu yang murni diinginkannya (bukan keinginan yang lahir dari kebutuhan alami manusia seperti makan, minum, kebutuhan akan rasa aman, dst). Dan, kemampuan ini hanya dimiliki oleh manusia.
Bagaimana dengan binatang? Sebagian besar perilaku binatang ditentukan oleh dorongan alami dalam diri mereka, yang lazim disebut insting.
Saat mereka lapar, mereka tidak akan memiliki ide untuk menahan lapar. Sebaliknya, dorongan lapar akan membuat mereka bertindak mencari makanan. Demikian juga saat mereka mengantuk, mereka tidak akan berpikiran untuk begadang. Sebaliknya, mereka akan tidur dengan cara mereka sendiri yang seringkali juga sesuai insting mereka.
Dalam ranah filsafat, keyakinan bahwa otak melahirkan pikiran dikenal dengan faham materialisme. Faham ini meyakini bahwa segala sesuatu yang bersifat batin seperti pikiran, kesadaran, free will, perasaan, dst berasal dari materi seperti otak dan zat-zat tubuh lainnya.
Sedangkan keyakinan bahwa pikiran berdiri terpisah dari otak disebut faham idealisme. Faham ini meyakini bahwa segala sesuatu yang bersifat batin seperti pikiran, kesadaran, dan free will tidak didikte oleh otak. Justru hal-hal inilah yang paling menentukan/mengendalikan hidup kita.
Dan, penulis buku ini lebih menganut pada faham yang kedua (idealisme).
Ring 3 - Apa Implikasi Bahwa Pikiran Berbeda dari Otak?
Sekilas, berbedanya pikiran dengan otak tidak memiliki implikasi apapun dalam kehidupan kita. Hidup kita tetap baik-baik saja tak peduli apakah pikiran sama dengan otak atau tidak dan apakah pikiran lahir dari otak atau tidak.
Tapi kalau kita amati lebih dalam, kenyataan bahwa pikiran berbeda dari otak dan bahwa pikiran tidak lahir dari otak memiliki implikasi yang serius dalam hidup kita, terutama pada bagaimana kita melihat perilaku, gangguan psikologis, sampai penyakit.
Para pakar yang meyakini bahwa pikiran sama dengan otak dan bahwa pikiran lahir dari otak menganggap bahwa perilaku manusia sepenuhnya ditentukan oleh susunan kimiawi otak. Pandangan ini melahirkan pendekatan yang deterministik dalam memandang kondisi psikologis, perilaku, dan sifat kita.
Para pakar yang menganut pendekatan ini akan menyarankan kita untuk mengkonsumsi obat-obatan yang mengubah susunan kimiawi otak kita untuk mengubah perilaku kita atau untuk menyembuhkan gangguan mental kita.
Dalam taraf ekstrem, paham determinisme melahirkan gerakan eugenics yang menganggap bahwa orang-orang yang memiliki perilaku menyimpang seperti tindak kriminal, homoseksualitas, dan kebodohan/IQ rendah tidak dapat diobati karena penyimpangan mereka berasal dari faktor genetik mereka. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat penyimpangan seperti itu yang dibutuhkan adalah melarang orang-orang yang dianggap menyimpang untuk berkembang biak.
Kebijakan ini pernah diterapkan di Amerika dan Inggris, dan yang paling terkenal adalah yang diterapkan di Jerman di bawah pemerintahan Nazi.
Determinisme ini lebih dikenal dengan determinisme biologis (sebuah faham yang meyakini bahwa sifat dan perilaku seseorang ditentukan semata-mata oleh faktor biologis seperti susunan kimiawi otak dan faktor genetik).
Sedangkan keyakinan bahwa pikiran berdiri terpisah dari otak melahirkan sebuah faham yang menganggap bahwa manusia memiliki kebebasan yang penuh untuk menentukan hidupnya, menentukan perilaku, tindakan, perasaan, dan pemikirannya. Dengan memberdayakan free will-nya, menurut pandangan ini manusia bisa mencapai kehidupan yang ia inginkan dan lepas dari berbagai belenggu mulai dari penyakit fisik, gangguan mental, kebiasaan buruk, bahkan nasib yang buruk.
Dengan free will, maka tidak diperlukan obat-obatan tertentu untuk mengobati gangguan mental. Apa yang diperlukan adalah, menggunakan free will sedemikian rupa sehingga untuk menyembuhkan gangguan mental tersebut dengan cara-cara tertentu.
Nah sampai di sini, kita paham bahwa meyakini otak berbeda dari pikiran memiliki implikasi besar dalam hidup kita, pada bagaimana kita menyikapi masalah-masalah yang terjadi dalam hidup kita.
Ring 4 - Apa Itu Neuroplastisitas dan Apa Hubungannya dengan Otak dan Pikiran?
Untuk menjelaskan apa itu neuroplastisitas, mari kita mulai dari sel otak alias neuron. Otak terdiri dari milyaran neuron, yang saling berkomunikasi melalui sebuah penghubung yang disebut sinapsis.
Sebuah neuron bisa memiliki puluhan ribu sambungan dengan neuron lain. Bersama-sama, mereka membentuk jaringan yang sangat kompleks dan bertanggung jawab atas seluruh fungsi otak.
Nah sambungan-sambungan alias sinapsis ini, serta sel otak itu sendiri terus berubah sepanjang waktu akibat pengalaman, perilaku, dan pembelajaran.
Jadi setiap Anda belajar hal baru atau mengalami/melihat kejadian baru, maka otak akan membentuk sambungan baru antar neuron. Semakin Anda sering mengulang-ulang hal baru itu, maka semakin kuat sambungan yang terbentuk.
Efeknya adalah, Anda semakin familiar dengan hal baru itu, bahkan bisa melakukannya secara otomatis. Dalam kata lain, sambungan tersebut menyimpan alias meng-kode-kan hal baru itu ke dalam otak Anda.
Tapi, kalau kemudian Anda jarang mengulang-ulangnya, maka lama-lama sambungan itu melemah yang akibatnya adalah, kemampuan Anda untuk melakukan/mengingatnya juga berkurang.
Inilah kenapa saat Anda belajar menulis, Anda harus mengulang-ulangnya sampai lancar. Tapi kalau setelah Anda lancar menulis kemudian Anda tidak pernah menulis lagi selama bertahun-tahun, maka kemampuan menulis Anda pun berkurang.
Nah, kemampuan otak untuk membentuk sambungan baru dan mengubah/memperlemah sambungan lama inilah yang disebut neuroplastisitas.
Neuroplastisitas memungkinkan kita bukan hanya untuk belajar hal baru dan membangun kebiasaan baru, tapi juga memungkinkan kita untuk mengubah kebiasaan, mengingat, berpikir, membuat ide, dst.
Lalu apa hubungan antara neuroplastisitas dengan otak dan pikiran? Hubungan antara neuroplastisitas dengan otak sudah jelas, yakni bahwa neuroplastisitas adalah kemampuan yang dimiliki otak untuk membentuk sambungan baru sel-sel otak dan mengubah/memperlemah sambungan lama sel-sel otak.
Sedangkan untuk menjelaskan hubungan antara neuroplastisitas dengan pikiran alias “mind”, mari kita mulai dari free will terlebih dulu. Di Ring 2 sudah dijelaskan bahwa pikiran alias “mind” memungkinkan kita untuk berpikir, merasakan, menyadari, dan memiliki free will. Dan, free will ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai masalah hidup kita mulai dari mengubah kebiasaan, sifat, menyembuhkan gangguan mental, sampai mencapai goal kita.
Dengan memberdayakan free will yang kita miliki, kita bisa mengabaikan dorongan alami/insting dalam diri kita dan memilih untuk melakukan hal-hal yang murni kita kehendaki seperti mencapai tujuan/goal kita.
Nah dalam mencapai goal untuk mengubah kebiasaan, sifat, dan menyembuhkan gangguan mental, free will memanfaatkan sifat plastisitas otak.
Maksudnya bagaimana?
Tadi sudah dijelaskan bahwa kebiasaan terbentuk saat kita terus mengulang-ulang melakukan aktivitas yang sama, yang membuat sambungan baru di otak yang meng-kode-kan aktivitas tersebut semakin padat dan kokoh. Dan sebaliknya, saat sebuah kebiasaan tidak dilakukan dalam jangka waktu yang lama, maka kebiasaan itu lama-lama melemah bahkan menghilang. Inilah bagaimana prinsip neuroplastisitas dalam membangun dan membuang kebiasaan.
Oleh karena itu, untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka yang diperlukan adalah free will kita dengan sengaja memilih untuk tidak melakukan kebiasaan tersebut meski kebiasaan itu sudah tertanam kuat di otak, yang berarti akan sangat sulit untuk tidak melakukannya.
Binatang tidak bisa dengan sengaja mengubah kebiasaan mereka karena mereka tidak punya free will. Perilaku mereka akan selalu didikte oleh “kebiasaan” alias insting mereka, yang sudah ter-kode-kan kuat di otak mereka. Sedangkan kita, manusia, bisa dengan sengaja mengubah kebiasaan kita dengan memberdayakan free will dan neuroplastisitas otak kita.
Hal yang sama juga berlaku untuk mengatasi gangguan mental seperti OCD (obsessive compulsive disorder), fobia, kecemasan, dst. Kuncinya adalah, kita mengetahui bagaimana gangguan mental tersebut ter-kode-kan/terprogram dalam otak dan bagaimana untuk bisa mematahkan sambungan/kode/program itu agar gangguan tersebut juga lenyap. Peran free will di sini adalah melakukan hal tersebut (mematahkan sambungan/kode/program itu) dengan sengaja.
Nah demikianlah bagaimana hubungan antara neuroplastisitas dengan pikiran/mind.
Ring 5 - Apa Itu the Power of Mental Force dalam Buku Ini?
Mental force dalam buku ini tak lain adalah kemampuan mental seperti kesadaran, kemampuan berpikir, memahami, mengingat, dan kemampuan free will.
Lalu kenapa mental force powerful? Apa yang membuatnya powerful? Jawabannya, karena dengan mental force, kita bisa mengabaikan dorongan insting yang seringkali merugikan diri kita dan mencapai tujuan yang lebih tinggi seperti visi dan misi hidup kita.
Sayangnya, mental force seringkali kalah dengan dorongan insting, kebiasaan, dan sifat negatif kita. Nah, untuk bisa memberdayakan mental force dengan baik, maka yang diperlukan adalah melatih kondisi mindful dalam diri kita.
Istilah mindful berasal dari ajaran Buddha yang berarti kesadaran dengan fokus yang utuh: yaitu kapasitas untuk mengamati pengalaman batiniah seseorang. Dalam teks kuno konsep ini disebut dengan metode “kesadaran yang utuh dan tidak melekat”.
Salah seorang penganut ajaran Buddha yang bernama Nyanaponika Thera memberikan sebutan Bare Attention pada sebuah aktivitas mental yang diperlukan agar dapat menghadirkan kesadaran dengan fokus yang utuh alias mindfulness. Bare Attention adalah kesadaran pribadi kita yang tunggal dan jelas mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada diri kita.
Perbedaan antara mindfulness dengan pikiran biasanya bisa digambarkan dengan perumpamaan berikut:
Anda berjalan di hutan dan perhatian Anda tenggelam dalam keindahan pepohonan dan bunga-bunga.
Sebagian besar manusia akan bereaksi dengan aktivitas pikiran seperti: ‘betapa indah pepohonan ini, kira-kira sudah berapa lama dia tertanam di hutan ini? Saya penasaran, kira-kira berapa orang yang sering memperhatikan keindahannya? Sungguh indah, hingga saya mungkin bisa menuliskan puisi dari pohon ini.”
Sedangkan, bagi orang yang telah memiliki mindfulness, mereka akan lebih terpukau dengan pepohonan itu tanpa menimbulkan pikiran apapun. Hanya menatap dengan rasa kagum. Tanpa ada halangan apapun di antara dirinya dan pohon itu, termasuk halangan yang dibuat oleh pikiran.
Itulah yang dimaksud dengan kesadaran yang utuh, sebuah perhatian tanpa memberikan komentar apapun. Anda hanya melihat, mengamati, baik secara batiniah maupun secara duniawi, sehingga hubungan Anda dengan benda tersebut menjadi begitu intim dan sangat dekat.
Lalu kenapa mindfulness memungkinkan diri kita menghadirkan mental force kita?
Karena saat kita dalam kondisi mindful, kesadaran diri (self-awareness) kita aktif, di mana dengan kesadaran diri kita kita bisa mengobservasi pikiran dan perasaan kita, kita bisa berintrospeksi apa yang keliru dari pemikiran, perasaan, dan tindakan kita sehingga kita juga tahu apa yang harus kita lakukan untuk bisa mengubahnya menjadi lebih baik.
Di samping itu, kondisi mindful juga mengaktifkan kehendak bebas/free will kita, yang dengannya kita bisa mengabaikan hal-hal tidak mendukung tujuan kita dan memilih untuk melakukan hal-hal yang mendukung tujuan kita.
Dalam kata lain, dengan latihan mindfulness, kita bisa memberdayakan kemampuan pikiran yang paling optimal yakni free will untuk mencapai kehidupan yang kita inginkan.
Jeffrey M. Schwartz, M. D., seorang profesor peneliti dalam bidang psikiatri di UCLA School of Medicine. Beliau juga merupakan penulis buku Brain lock dan Dear Patrick. Beliau kini tinggal di Los Angeles California.
Sharon Begley, adalah seorang penulis artikel tentang ilmu pengetahuan untuk Wall Street Journal. Beliau pernah menjadi penulis senior untuk Newsweek, mengenai masalah ilmu saraf, genetik, fisika, astronomi, dan antropologi. Beliau telah memenangkan berbagai macam penghargaan untuk artikel-artikelnya. Beliau kini tinggal di Pelham, New York.
Akhirnya, sampai juga Nadila di ujung pencarian. Kini dia sudah memiliki pemahaman tentang otak, pikiran, dan kesadaran. Dia akan selalu mengingat beberapa poin penting tentang otak dan pikiran yang ia temukan di buku “The Mind and The Brain”, yang antara lain adalah:
- Otak berbeda dari pikiran. Otak adalah materi yang mengatur segala sesuatu yang dilakukan tubuh seperti bernapas, bergerak, melihat, mendengar, dst. Wujud otak bisa disentuh dan dilihat dengan kasat mata. Sedangkan pikiran adalah elemen manusia yang memungkinkannya untuk berpikir, memahami, menyadari, merasakan, dan berkehendak bebas. Wujud pikiran tidak kasat mata.
- Meskipun pikiran berbeda dari otak, pikiran tidak akan menampakkan dirinya tanpa otak. Otak adalah kendaraan bagi pikiran, tapi pikiran tidaklah produk dari otak. Keberadaan pikiran melampaui keberadaan otak.
- Pandangan bahwa pikiran berbeda dari otak dan bukan merupakan produk dari otak melahirkan faham idealisme dalam filsafat. Faham ini menyatakan bahwa kehidupan, tindakan, dan sifat manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh hal-hal yang material seperti susunan kimiawi otak maupun gen, melainkan jauh lebih banyak ditentukan oleh kehendak bebas alias free will yang manusia miliki.
- Free will adalah kemampuan manusia untuk mengabaikan dorongan insting dan lebih memilih untuk melakukan kehendak yang murni diinginkannya.
- Faham idealisme melahirkan pendekatan yang pada intinya lebih menitikberatkan peran free will dalam mengubah perilaku, sifat, kebiasaan, dan penyembuhan gangguan mental seperti OCD, fobia, depresi, dan kecemasan dibanding dengan obat-obatan yang mengubah susunan kimiawi otak.
- Untuk bisa memberdayakan kesadaran dan free will dengan optimal bisa dilakukan dengan melatih kondisi mindfulness, yakni kondisi di mana perhatian kita terpusat pada satu hal tanpa menganalisa dan menilai.
Terima kasih telah menemani perjalanan Nadila, semoga manfaatnya bisa Anda rasakan juga. Sukses selalu. Sampai bertemu di BaRing selanjutnya.
Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital Sukses selalu untuk Anda
Rekomendasi Baring Lainnya