Rewire: Change Your Brain to Break Bad Habits, Overcome Addictions, Conquer Self-Destructive Behavior
Richard O'Connor
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Shinta seorang mahasiswa psikologi. Suatu hari dia mendapatkan tugas dari dosennya untuk membuat makalah tentang bagaimana cara mengatasi kecanduan, kebiasaan yang buruk, dan perilaku yang merusak diri sendiri.
Awalnya, dia mencoba mencari referensi dengan googling artikel di internet. Tapi, yang ia temukan hanyalah informasi sepotong-sepotong. Ia ingin mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif, juga bisa dipercaya.
Oleh karena itu, dia pun mencari buku yang membahas hal tersebut di beberapa toko buku online.
Sembari mencari, benaknya bertanya-tanya apa sih yang membuat seseorang berperilaku self-destructive? Apakah karena mereka depresi? Apakah karena pergaulan? Atau, ada penyebab lain?
Akhirnya, setelah setengah jam berselancar di toko buku online, dia menemukan buku karya Richard O’Connor berjudul “Rewire: Change Your Brain to Break Bad Habits, Overcome Addictions, Conquer Self-Destructive Behavior.”
Kegembiraan terpancar di raut wajahnya. Bahkan saking antusiasnya, dia langsung membeli versi e-book buku tersebut dan langsung membacanya begitu file e-booknya sudah ia dapatkan.
So, apakah dia akan menemukan jawaban dalam buku tersebut? Yuk, ikuti kisahnya dalam BaRing berikut ini.
Ring 1 - Apa Gambaran Besar Isi Buku Ini?
Sebelum penemuan-penemuan di bidang Neurosains yang mengungkap bagaimana cara kerja otak dan pikiran, dunia psikologi menganggap bahwa kecenderungan merusak diri sendiri (self-destructive behaviors) dan kecenderungan menyabotase diri seperti menunda-nunda, perfeksionis, menggunakan obat-obatan terlarang, merokok, makan terlalu berlebihan, dst merupakan gejala dari kecanduan, depresi, ataupun gangguan kepribadian.
Oleh karena itu, untuk menanganinya, pendekatan yang dilakukan adalah dengan terlebih dulu menyembuhkan kecanduan, depresi, ataupun gangguan kepribadian yang dialami si penderita. Dan, inilah juga yang dilakukan oleh penulis buku ini terhadap para pasiennya selama bertahun-tahun.
Penulis buku ini merupakan seorang terapis yang telah bergelut di bidang psikoterapi selama 30 tahun lebih. Sama seperti para psikoterapis lainnya, ketika dia menghadapi pasien yang ingin menyembuhkan perilaku self-destructive, terapi yang dilakukannya adalah pertama-tama dengan menyembuhkan terlebih dulu gangguan psikologis yang diderita pasiennya, entah itu kecanduan, depresi, ataupun gangguan kepribadian.
Tapi masalahnya, seringkali ia menemukan banyak pasien penderita self-destructive behavior yang ternyata tidak memiliki gangguan psikologis apapun. Mereka tidak mengalami kecanduan, tidak mengalami depresi, ataupun menderita gangguan kepribadian. Sehingga, cara lama (yakni dengan menyembuhkan kecanduan, depresi, atau gangguan kepribadian) tidak bisa diterapkan.
Nah, dengan semakin berkembangnya pengetahuan terkait cara kerja otak & pikiran, misteri di balik perilaku self-destructive perlahan-lahan terkuak. Dari penemuan-penemuan ini, kesimpulan intinya adalah bahwa:
Ada kekuatan powerful dalam diri kita yang menolak perubahan, sekalipun kita menyadari bahwa perubahan bagus untuk diri kita. Seolah-olah kita memiliki 2 otak, yang pertama ingin yang terbaik untuk kita, sedangkan yang kedua menginginkan kita untuk mempertahankan kondisi lama meskipun kondisi itu tidak baik untuk diri kita.
Dengan kesimpulan seperti ini, maka ini berarti perilaku self-destructive tidak selalu terkait dengan kecanduan, depresi, ataupun gangguan kepribadian. Perilaku ini bisa terjadi pada siapapun dan sangat mungkin terjadi pada siapapun akibat mekanisme alami pikiran itu sendiri yang memang mendorong terbentuknya perilaku merusak diri sendiri.
Jadi, biang keroknya ada di mekanisme alami pikiran itu sendiri.
Kabar baiknya, ilmu Neurosains juga memberikan kita pemahaman bagaimana mengatasi perilaku ini dengan “mengubah” & “memanipulasi” kerja otak & pikiran.
Dan, inilah yang akan Anda pelajari dalam buku ini. Dalam buku ini, Anda akan mengetahui bagaimana cara kerja alami otak yang melahirkan perilaku merusak diri sendiri dan bagaimana Anda bisa “mengubah” otak Anda untuk menghilangkan perilaku tersebut.
Ring 2 - Bagaimana Cara Kerja Alami Otak & Pikiran yang Melahirkan Perilaku Merusak Diri Sendiri?
Penulis buku ini menjelaskan bahwa sebagian besar perilaku merusak & menyabotase diri sendiri merupakan hasil dari dua bagian pikiran yang tidak berkomunikasi dengan baik. Kedua bagian pikiran itu memberikan arahan bertindak yang bertentangan, yang celakanya seringkali konflik ini tidak kita sadari sehingga membuat kita mengambil keputusan tanpa berpikir.
Kedua bagian pikiran ini yakni diri sadar (conscious self) dan diri tidak sadar/diri otomatis (unconscious/automatic self).
Kita juga bisa menyebut masing-masing pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Nah, apa yang seringkali melahirkan perilaku merusak diri sendiri dan juga menyabotase diri sendiri tak lain adalah konflik antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.
Diri sadar alias pikiran sadar bertugas untuk berpikir dengan logis, membandingkan, menghitung, menganalisa, dan operasi berpikir lainnya. Untuk melakukan semua aktivitas ini diperlukan kesadaran penuh dan proses berpikir yang seksama. Sehingga, prosesnya lebih lambat dan membutuhkan effort yang relatif besar.
Sedangkan diri tidak sadar alias pikiran bawah sadar beroperasi tanpa kita sadari dan menghasilkan perilaku dan respons yang otomatis (respons yang dilakukan tanpa perlu disengaja).
Di samping itu, diri tidak sadar juga bertugas menyimpan semua informasi, termasuk informasi yang kita percayai sebagai kebenaran dan menjadi patokan bertindak kita, dan juga menyimpan aktivitas-aktivitas yang sering kita lakukan alias kebiasaan kita. Diri tidak sadar juga menghasilkan emosi, dan beroperasi dengan asosiasi (menghubungkan dua hal atau lebih yang saling berhubungan).
Perlu diketahui bahwa proses kerja pikiran bawah sadar jauh lebih cepat dibanding proses kerja pikiran sadar. Sehingga, bisa dikatakan bahwa kerja pikiran bawah sadar tidak memerlukan effort. Tahu-tahu, kita sudah dapat hasilnya begitu saja.
Kerja pikiran sadar dan pikiran bawah sadar tidaklah terisolasi satu sama lain, melainkan saling berhubungan/bekerja sama.
Untuk bisa beroperasi, pikiran sadar memerlukan informasi yang tersimpan di pikiran bawah sadar. Informasi yang tersimpan di pikiran bawah sadar memudahkan dan mengefisienkan kerja pikiran sadar.
Kita ambil contoh menghitung tumpukan uang pecahan lima puluh ribuan di koper. Kalau pikiran bawah sadar kita tidak menyimpan konsep “uang pecahan 50 ribuan” yang warnanya biru, maka pikiran sadar kita akan kesulitan dalam menghitung uang di koper tersebut. Ia (pikiran sadar) harus terlebih dulu mengungkap berapa nilai nominal uang di dalam koper itu. Barulah setelah ia tahu nominalnya, kita bisa menghitungnya.
Sedangkan kalau pikiran bawah sadar menyimpan konsep “uang pecahan 50 ribuan” beserta deskripsinya (berwarna biru), maka begitu kita melihat uang di dalam koper tersebut, pikiran bawah sadar kita langsung memberitahu kita bahwa itu adalah uang pecahan 50 ribuan. Sehingga kita bisa langsung menghitungnya.
Tentu, proses ini terjadi sangat cepat dan otomatis. Kita tidak perlu bertanya lebih dulu kepada pikiran bawah sadar. Tahu-tahu, kita tahu dengan sendirinya kalau uang dalam koper itu adalah pecahan 50 ribuan. Di sini, yang memberitahu kita bahwa uang berwarna biru itu adalah pecahan 50 ribuan tak lain adalah pikiran bawah sadar kita. Dan, karena pikiran bawah sadar beroperasi dengan sangat cepat & otomatis, maka kita tidak menyadarinya.
Kalau pikiran bawah sadar kita tidak menyimpan konsep “menghitung” dan “cara menghitung”, maka pikiran sadar kita bahkan tidak akan terpikirkan sama sekali untuk menghitungnya.
See? Betapa pun canggihnya pikiran sadar, ia hanya bisa bekerja dengan bantuan informasi/referensi dari pikiran bawah sadar. Bisa dikatakan bahwa kerja pikiran sadar sangat bergantung pada pikiran bawah sadar.
Nah terkait sikap, perilaku, pemikiran, dan keputusan yang dibuat oleh pikiran sadar, hal yang sama pun berlaku. Dalam kata lain, sikap, perilaku, pemikiran, dan keputusan yang dibuat oleh pikiran sadar senantiasa dipengaruhi oleh referensi bawah sadar. Penyebabnya pun sama, yakni karena setiap proses kerja pikiran sadar senantiasa membutuhkan referensi dari bawah sadar.
Sebagai contoh, kalau pikiran bawah sadar kita percaya bahwa mencuri itu tidak baik, maka ketika kita berjumpa dengan pencuri, kita (pikiran sadar kita) akan menegurnya atau melaporkannya ke polisi. Kalau pikiran bawah sadar kita percaya bahwa setiap orang itu sama tak peduli ras dan etnisitasnya, maka sikap kita terhadap orang-orang yang berbeda dari diri kita pun akan sama; kita akan memperlakukan mereka sama dengan kita memperlakukan orang-orang yang sama dengan diri kita.
Bagaimana kalau keyakinan yang tersimpan di bawah sadar kita melahirkan persepsi dan pemikiran yang negatif dalam diri kita? Maka, inilah salah satu hal yang bisa melahirkan perilaku merusak & menyabotase diri sendiri.
Sebagai contoh, pikiran bawah sadar kita percaya bahwa kita orang yang payah. Dengan keyakinan seperti itu, ketika kita memperoleh penghargaan karena pencapaian kita, maka kita (pikiran sadar kita) akan berpikir bahwa kita tidak layak mendapatkan penghargaan itu. Kita akan berpikir bahwa pencapaian tersebut bukanlah hasil dari kerja kita melainkan hanya karena kebetulan. Ini lebih jauh akan membuat kita berpikir bahwa mereka yang memberikan kita penghargaan telah tertipu tampilan luar kita. Dan, inilah yang membuat kita merasa tidak layak. Kalau sudah begini, maka kita bukannya senang dan bangga dengan pencapaian kita tapi justru merasa bersalah. Dan, perasaan bersalah ini akan membuat kita menolak penghargaan tersebut.
Dalam dunia psikologi, kecenderungan seperti ini (merasa tidak layak) dikenal dengan sindrom impostor. Dan, di luar sana banyak sekali orang yang memiliki kecenderungan menyabotase diri sendiri ini.
Tapi, cara pikiran bawah sadar merusak & menyabotase diri kita tidak hanya terjadi melalui keyakinan yang tersimpan di bawah sadar. Selain menyimpan keyakinan yang kita yakini (yang dalam istilah penulisnya disebut dunia asumtif atau paradigma berpikir), pikiran bawah sadar memiliki berbagai mekanisme kerja yang meskipun terkadang menguntungkan diri kita tapi tak jarang pula menghasilkan kesalahan-kesalahan logika dalam diri kita.
Beberapa di antaranya yakni:
-Bias konfirmasi
Yakni kecenderungan untuk hanya mencari bukti-bukti yang membenarkan anggapan kita dan mengabaikan bukti-bukti yang membuktikan kesalahan anggapan kita.
Kenapa bias konfirmasi bisa melahirkan perilaku merusak diri sendiri adalah karena ketika kita memiliki keyakinan yang negatif, maka bias konfirmasi dalam diri kita membuat kita cenderung hanya mencari bukti-bukti yang mendukung keyakinan tersebut dan menutup mata pada bukti-bukti yang menyangkal keyakinan itu. Tentu saja, ini membuat kita semakin terjebak pada keyakinan-keyakinan negatif yang tidak mendukung diri kita.
Pendeknya, bias konfirmasi membuat kita cenderung hanya mau mendengar apa yang ingin kita dengar.
Berikut contoh bagaimana kecenderungan ini melahirkan perilaku yang merusak diri sendiri: Anda punya keyakinan kalau kecerdasan itu tetap/fixed dan tak bisa ditingkatkan. Keyakinan itu membuat Anda merasa kegiatan belajar hanyalah hal yang sia-sia. Karena, mau belajar bagaimana pun juga kecerdasan tidak akan meningkat.
Nah, bias konfirmasi dalam diri Anda akan mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan bahwa kecerdasan bisa ditingkatkan dan hanya akan menerima bukti-bukti yang membuktikan bahwa kecerdasan tak bisa ditingkatkan.
Akibatnya, Anda akan semakin percaya bahwa kecerdasan tidak bisa ditingkatkan. Dan, semakin Anda percaya bahwa kecerdasan tidak bisa ditingkatkan, maka semakin malas Anda belajar.
-Fundamental attribution error
Kecenderungan berpikir di mana kita cenderung menganggap kesalahan diri sendiri disebabkan faktor di luar diri kita, dan menganggap kesalahan orang lain disebabkan karena karakter mereka.
Kenapa kecenderungan ini juga melahirkan perilaku merusak & menyabotase diri sendiri adalah karena kecenderungan ini membuat kita merasa tidak berdaya untuk melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri, membuat kita merasa tidak punya kendali terhadap nasib kita sendiri.
Contoh, seorang murid SMP gagal dalam ujian nasional. Kemudian, saat ditanya orangtuanya, dia menjawab, “Gara-gara gurunya nggak enak kalau ngajar, jadi aku nggak paham pelajarannya,” atau “Pertanyaannya nggak cocok buat anak SMP. Cocoknya buat anak SMA.”
-Thought suppression
Ini adalah kecenderungan di mana pikiran bawah sadar kita berusaha untuk menekan pemikiran tentang sesuatu yang ingin kita lupakan. Padahal, semakin kita menekan hal tersebut, maka hal itu justru semakin mendominasi pikiran kita.
Contoh, kita ingin merelakan uang kita yang hilang dengan memaksa diri kita untuk melupakannya. Cara ini justru membuat kita semakin terngiang-ngiang uang tersebut.
-Licensing effect
Ini adalah kecenderungan di mana pikiran bawah sadar cenderung merasa terbebaskan dalam satu aspek setelah melakukan kerja keras pada aspek lain. Misal, setelah melakukan olahraga, kita cenderung merasa bahwa mengonsumsi makanan yang banyak tidaklah masalah. Atau, setelah kita belajar keras, kita merasa tidak masalah untuk menonton TV sampai pagi.
Padahal, untuk mendapatkan tubuh yang ideal, baik olahraga maupun menjaga pola makan sama-sama penting. Begitu juga dalam meningkatkan kepandaian, di samping belajar, kita juga perlu istirahat yang cukup.
Kecenderungan ini tentu saja merusak diri kita. Karena dengan kecenderungan ini, kita menarik mundur progress yang sudah kita capai. Setiap kali kita maju satu langkah, kecenderungan ini menarik kita mundur satu langkah.
-The hedonic treadmill
Ini adalah kecenderungan di mana kita tidak pernah merasa puas meskipun telah mencapai keinginan kita. Contoh, seseorang kehilangan uang 100 ribu rupiah. Kemudian, dia menemukan uang sebanyak 300 ribu rupiah. Nah, kecenderungan “hedonic treadmill” akan membuat orang tersebut merasa tidak puas dengan uang 300 ribu yang ia temukan. Dengan kecenderungan ini, dia akan berpikir “Seandainya yang 100 ribu nggak hilang….”.
Kenapa kecenderungan ini menyebabkan perilaku merusak diri sendiri adalah karena kecenderungan ini bisa membuat kita tamak tak terkendali, yang justru merugikan kita sendiri. Banyak trader pemula yang pada akhirnya merugi akibat kecenderungan ini.
Ring 3 - Bagaimana Prinsip Mengatasi Perilaku Merusak Diri Sendiri yang Sesuai dengan Cara Kerja Pikiran?
Kunci pertama untuk mengatasi perilaku merusak diri sendiri bukanlah dengan memperkuat atau meningkatkan kinerja pikiran sadar melainkan dengan melatih pikiran bawah sadar untuk melakukan hal-hal yang lebih bijaksana, lebih konstruktif, lebih mendukung kemajuan diri kita.
Ini karena, 99% perilaku kita ditentukan oleh pikiran bawah sadar kita dan pikiran bawah sadar jauh lebih dominan dibanding pikiran sadar kita.
Tapi, untuk melatih pikiran bawah sadar melakukan hal-hal yang konstruktif pun dibutuhkan peran pikiran sadar. Di sini, pikiran sadar berperan untuk:
1. Mengenali keyakinan bawah sadar/paradigma berpikir Anda yang melahirkan perilaku merusak & menyabotase diri Anda sendiri.
Hal pertama yang perlu Anda garis-bawahi adalah, sangat mungkin dua orang atau lebih memiliki perilaku self-destructive yang sama dengan penyebab yang berbeda-beda.
Ada orang yang punya kecenderungan menunda-nunda karena dia tidak percaya bahwa dia bisa sukses. Sehingga, setiap kali dia hendak mengerjakan sesuatu, terutama sesuatu yang bermakna bagi dirinya, akan timbul perasaan takut kecewa, di mana perasaan inilah yang membuatnya menunda-nunda.
Di sisi lain, ada orang yang punya kecenderungan menunda-nunda karena dia punya paradigma berpikir bahwa sesuatu yang besar & berarti harus dikerjakan dengan sebaik & sesempurna mungkin. Saking sempurnanya, sampai-sampai dia merasa harus mengerjakannya di waktu yang paling kondusif. Akhirnya, demi mendapatkan waktu yang kondusif, dia malah terus menunggu momentum. Dan, inilah yang membuatnya terus menunda-nunda: menunggu sampai momentum datang, padahal momentum tidak datang dengan sendirinya melainkan kita yang membangunnya.
Dan, ada juga orang yang terus menunda-nunda karena berpikir bahwa waktu masih panjang.
Adapun hal kedua yang perlu Anda garis-bawahi, jangan lupa bahwa perilaku self-destructive juga bisa disebabkan oleh mekanisme kerja pikiran bawah sadar sebagaimana yang telah disebutkan di Ring 2 seperti: bias konfirmasi, hedonic treadmill, licensing effect, fundamental attribution error, dan thought suppression.
Nah, peran pertama pikiran sadar adalah mengenali apa perilaku self-destructive Anda dan apa penyebabnya. Tanyakan pada diri Anda apakah penyebabnya paradigma berpikir Anda ataukah mekanisme kerja pikiran bawah sadar Anda. Kalau penyebabnya adalah paradigma berpikir Anda, paradigma yang seperti apa? Dan kalau penyebabnya adalah mekanisme kerja pikiran bawah sadar Anda, maka tanyakan mekanisme yang bagaimana.
2. Melatih pikiran bawah sadar dengan paradigma berpikir & kebiasaan yang konstruktif
Ya, untuk melatih pikiran bawah sadar dengan paradigma berpikir & kebiasaan yang konstruktif dibutuhkan pikiran sadar. Di sini, peran pikiran sadar adalah untuk secara sadar & sengaja memilih perilaku & paradigma berpikir yang tepat serta memastikan perilaku & paradigma berpikir tersebut menjadi kebiasaan yang mendarah daging di pikiran bawah sadar kita.
Apa yang perlu digaris-bawahi ketika kita menjadikan sebuah paradigma berpikir & perilaku tertentu menjadi kebiasaan kita adalah, akan ada fase di mana tanpa sadar diri kita mensabotase usaha yang sudah kita lakukan. Dan, celakanya, seringkali fase ini muncul ketika kita sudah selangkah lagi menuju keberhasilan.
Penulis buku ini menyebut fase tersebut dengan “undertow.”
Sebagai contoh, ada seseorang yang ingin memiliki tubuh yang ideal. Kemudian, dia pun melakukan program diet dengan menjaga pola makan dan berolahraga rutin. Setelah 1 bulan, berat badannya turun 7 kilogram. Tapi, karena dia mengalami suatu masalah, dia pun kembali pada kebiasaan lama yang menarik ke belakang apa yang sudah dicapainya.
Contoh lain, seorang anak berlatih sebuah tarian tradisional. Karena gerakan tarian itu sangat kompleks, anak itu membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar menguasainya. Singkat cerita, dia butuh waktu 3 bulan untuk berlatih. Tapi setelah berlatih selama 2,5 bulan dan sudah banyak gerakan yang ia kuasai, tiba-tiba muncul dorongan dalam dirinya untuk berhenti (sejenak) karena merasa sudah cukup puas. Kalau fase ini tidak diwaspadai, maka sangat mungkin si anak akan keterusan dan akhirnya berhenti berlatih selamanya.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi fase undertow?
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa latihan yang sudah kita lakukan tidaklah sia-sia meskipun kita berhenti (baik sejenak maupun dalam waktu yang lama). Ini karena, apa yang sudah kita latih berulang kali akan “mengkristal” di dalam otak kita. Dalam kata lain, otak kita membentuk sambungan-sambungan sel otak yang meng-kode-kan hal yang sudah kita latih tersebut. Dan, sambungan ini tidak akan hilang meskipun kita telah lama tidak melakukannya lagi. Dia (sambungan tersebut) hanya akan melemah, yang bisa kita perkuat lagi dengan kembali melatihnya.
Penyebab kenapa banyak orang gagal melewati fase undertow adalah, mereka berpikir bahwa usaha yang mereka lakukan sia-sia; bahwa tidak ada jalan keluar sama sekali, karena toh serajin apapun kita berlatih pada akhirnya kita akan kembali ke kebiasaan lama juga. Tapi, faktanya tidaklah seperti itu. Fase undertow bukanlah akhir segalanya. Karena, apa yang telah kita ulang-ulang, apa yang telah kita latih, senantiasa “terukir” di dalam otak kita dan menjadikan kita lebih mudah melakukannya.
Richard O’Connor selama 14 tahun menjadi executive director di Northwest Center for Family Service and Mental Health, sebuah klinik kesehatan mental non-profit. Dia juga merupakan seorang psikoterapis yang beroperasi di Connecticut dan New York. Beberapa buku yang telah ia tulis antara lain “Undoing Depression” dan “Undoing Perpetual Stress”.
Akhirnya… selesai juga Shinta membaca buku “Rewire” karya Richard O’Connor. Dia sangat senang sekali karena buku tersebut sesuai dengan ekspektasinya. Terbukti, banyak sekali insight yang didapatkannya dari buku itu, yang bisa ia jadikan referensi dalam menyusun makalah.
Nah berikut ini beberapa di antaranya:
- Penyebab yang sering terjadi daripada perilaku self-destructive bukanlah depresi atau gangguan kepribadian melainkan, 1) paradigma berpikir yang tidak mendukung yang tersimpan di pikiran bawah sadar, 2) mekanisme kerja pikiran bawah sadar yang menghasilkan berbagai kesalahan berpikir/logical fallacy.
- Kunci untuk menghilangkan perilaku self-destructive bukanlah dengan meningkatkan kinerja pikiran sadar melainkan melatih pikiran bawah sadar dengan paradigma berpikir serta kebiasaan-kebiasaan yang konstruktif.
- Peran pikiran sadar dalam menghilangkan perilaku self-destructive antara lain mengenali akar penyebab dari perilaku self-destructive yang kita miliki dan memastikan pikiran bawah sadar terbiasa dengan perilaku-perilaku & paradigma berpikir yang lebih konstruktif.
- Dalam proses melatih perilaku & paradigma berpikir yang konstruktif akan ada fase “undertow”, yakni fase di mana tanpa sadar diri kita menyabotase usaha kita yang tinggal selangkah lagi menuju keberhasilan.
- Untuk melewati fase “undertow” dengan sukses, kita perlu mengingat bahwa apa yang sudah kita latih berulang kali tidaklah sia-sia. Otak kita senantiasa “mengkristalkan” apa yang sudah kita latih dan membuat hal tersebut menjadi lebih mudah untuk dilakukan.
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Shinta, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di Baring selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya