OUT OF CONTROL – Why Disciplining Your Child doesn't Work… and What Will
Shefali Tsabary, PhD
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
Ring 6
-
Ring 7
-
Ring 8
-
Ring 9
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Risa sedang berkumpul di sebuah cafe’ dengan sahabat-sahabatnya. Salah seorang sahabatnya mencurahkan isi hatinya mengenai sulitnya berkomunikasi dengan 3 orang anaknya yang berusia remaja. Menurut sahabatnya, tidak ada satu pun anak yang sekarang mau mendengarkan omongannya dengan baik-baik. Harus dengan nada tinggi dan sedikit ‘tarik urat’ atau berbagai macam ancaman, baru anak-anaknya mau menurut.
“Hati-hati, Ris,” ujar sahabatnya itu pada Risa, “Asri, putrimu, kan sudah mau usia remaja dia. Kamu harus siap-siap energi mental. Jangan dilembutin melulu, nanti manja jadinya. Kalau gak didisiplinkan, bisa bahaya masa depannya.”
Risa yang sebenarnya agak terkejut karena sahabatnya tiba-tiba menasihatinya, hanya tertawa kecil sambil mengiyakan.
Sebelum pulang, Risa mampir ke toko buku untuk mencari buku bacaan untuk anaknya. Sambil mencari buku, dibenaknya terngiang cerita dan nasihat sahabatnya.
“Iya, ya. Bagaimana kalau nanti hubunganku dengan Asri jadi seperti temanku dan anaknya? Aku tidak mau begitu,” pikir Risa, “Tapi, apa yang harus kulakukan? Kalau anak remaja diberikan disiplin karakter, memang biasanya akan melawan. Toh, usia remaja usia memberontak. Tapi, jika tidak diajarkan dengan disiplin, apakah bisa menjadi anak yang bertanggung jawab di masa depan? Jadinya apa yang harus aku persiapkan untuk menghadapi masa remaja anakku?”
Di tengah kebingungan melandanya, Risa teringat bahwa ia sedang di toko buku. Kenapa tidak sekalian ia mencari buku untuk menjawab masalahnya itu?
Setelah berkeliling mencari, ia menemukan sebuah buku yang menarik, ‘Out of Control - Why Discipline Your Child Doesn’t Work, and What Will, dari Shefali Tsabary, PhD’.
“Wah kaya’nya pas nih bukunya. Coba deh aku beli. Langsung aku baca aja nanti pas sampai di rumah,” ujar Risa.
Nah, apakah buku ini benar-benar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Risa? Yuk, kita simak di BaRing berikut ini.
Ring 1 - Masalah Apa yang Umumnya Muncul di Antara Hubungan Anak dengan Orangtua, yang Bisa Menutup Potensi Anak?
Kebanyakan orangtua menemukan diri mereka berada di dalam sebuah sistem yang tidak pernah berakhir dari barteran dengan anak mereka. Pendekatan pola asuh “tawanan-sipir,” yang mana seorang sipir perlu memonitor secara ketat tindakan anaknya.
Anak, berperan sebagai tawanan, melakukan hal benar atau salah. Orangtua, bertindak sebagai sipir, mengeluarkan hasil berupa penghargaan atau hukuman. Tawanan menjadi tergantung pada pengendalian sipir untuk mengatur perilaku mereka.
Sistem penghargaan dan hukuman ini melemahkan kapasitas anak untuk mempelajari disiplin diri, merusak potensi yang melekat atas pengaturan-diri mereka. Menjadi wayang yang hanya melakukan sesuatu atas pengawasan, anak belajar termotivasi dari faktor luar daripada faktor internal.
Dengan berlalunya waktu, semakin tidak jelas siapa sipir dan siapa tawanan, karena keduanya saling menyiksa dalam siklus manipulasi yang tiada berakhir.
Ring 2 - Mengapa Pendisiplinan Sering Tidak Berhasil?
Ketika kita membangun relasi dengan anak kita dengan kepercayaan bahwa disiplin anak adalah aspek yang sangat penting dari peran kita sebagai orangtua, kita berasumsi bahwa anak pada dasarnya tidak disiplin dan perlu dibuat beradab. Ironisnya, anak yang diberikan disiplin yang sangat berat biasanya yang paling sedikit bisa mengendalikan diri mereka.
Tanpa benar-benar memikirkannya, kita terbawa ke dalam kepercayaan: bahwa tanpa disiplin, anak akan jadi liar. Kita menginterpretasi semua perilaku buruk mereka melalui lensa ini. Apa yang kita pikirkan tentang “disiplin” adalah yang merusak dan gagal menghasilkan jenis perilaku yang orangtua dambakan dalam diri anak mereka.
Disiplin kelihatan cenderung berkaitan dengan hasrat orangtua daripada sesuatu yang masuk akal, ia selalu memicu kebencian dalam diri anak. Walaupun mereka mungkin menuruti permintaan kita karena kita memaksa mereka melakukan begitu, secara internal mereka mengembangkan penolakan tidak hanya pada apa yang kita minta dari mereka. Tetapi bahkan lebih kepada kita sebagai pembawa pesan.
Penolakan mereka, memperkuat orangtua untuk semakin mengendalikan. Orangtua percaya semakin keras mereka maka anak akan semakin nurut. Kenyataannya adalah penolakan ini yang menciptakan anak jadi emosional, menciptakan hambatan dalam belajar, pertumbuhan, dan yang paling penting dari semua ini adalah koneksi antara orangtua dan anak. Perilaku anak mungkin nurut, tetapi hati mereka tidak.
Setiap konflik dalam hidup kita saat ini apakah dengan anak, pasangan, atau orang dewasa lainnya – merupakan pengulangan dari masa kecil kita. Setiap relasi, merupakan interaksi berdasarkan cetak biru dari pola didik diri kita sendiri. Artinya sebenarnya tidak ada orang dewasa; kita semua hanyalah anak-anak yang sedang bersikap seperti orang dewasa. Ketika berkaitan dengan pola asuh, dalam banyak hal kita adalah anak yang sedang membesarkan anak.
Ketika orangtua menjelaskan alasan atas disiplin yang paling ajaib: “Saya melakukan ini demi kebaikan anak saya.” Kenyataannya, tidak ada anak yang merasa demikian setelah dibentak, dipukul atau ditampar. Bagi mereka, satu-satunya hasil dari interaksi seperti ini adalah penolakan.
Seiring berjalannya waktu, penolakan ini bisa tumbuh menjadi kebencian diri yang pahit yang akan menyebabkan kekacauan dalam kehidupan mereka seperti harga diri rendah, menarik orang dan situasi yang mencerminkan cara individu tersebut berpikir tentang diri mereka.
Tidak peduli betapa baiknya niat kita, jenis disiplin apapun menyisakan perasaan diserang pada anak kita. Mereka benci didisiplinkan, bukan karena mereka menolak melakukan hal yang benar, tetapi karena ancaman, pukulan, dan hukuman mengecilkan mereka.
Mereka merasa kita berusaha mengendalikan mereka, dan jiwa kebebasan alami mereka merasa tidak berdaya – seperti seseorang dipenjara karena kejahatan yang tidak dilakukannya.
Jika kita tidak terhubung dengan perasaan anak kita, kita tidak akan pernah bisa terhubung dengan perilaku mereka. Karena disiplin fokus pada perilaku, bukan pada perasaan yang mendorong perilaku tersebut, inilah yang melemahkan hal yang sedang berusaha kita capai.
Ring 3 - Lalu, Jika Bukan dengan Disiplin, Bagaimana Anak Bisa Belajar Bertanggung Jawab?
Sudah pasti harus ada konsekuensi. Konsekuensilah yang sebetulnya membuat bagaimana anak belajar agar bisa mengarahkan diri dan bertanggungjawab. Konsekuensi berbeda dengan hukuman. Konsekuensi itu alami, yang artinya ia terhubung dengan situasi yang ada. Saling melekat.
Orangtua perlu membiarkan konsekuensi berlaku – inilah bagian yang sulit. Kita telah diajarkan untuk memaksakan “pelajaran” pada anak kita sehingga begitu berlawanan dengan intuisi untuk membiarkan pelajaran muncul secara alami dari situasi tersebut.
Berpindah dari disiplin membutuhkan kita belajar bagaimana membiarkan konsekuensi alami untuk memperbaiki perilaku anak. Disiplin itu kontraproduktif, mengekspos anak terhadap konsekuensi dari tindakan mereka adalah sebuah cara luar biasa bagi anak untuk belajar.
Salah satu contoh konsekuensi: anak yang berusaha mengisi gelas dan menumpahkan air, konsekuensinya ia harus mengelap hasil tumpahannya sehingga ia akan berhati-hati, tentu seiring perkembangan motoriknya.
Mengikuti cara yang alami akan membuat anak kita belajar bahwa setiap tindakan menimbulkan reaksi. Biarkan mereka mengalami hasil dari perilaku mereka akan membantu mereka mengembangkan sebuah relasi yang bermakna dengan dunia mereka.
Karena kita tidak lagi berada di tengah, di antara mereka dan pengalaman mereka, maka mereka tidak melihat kita sebagai musuh untuk ditolak. Tetapi kita malah bisa dilihat sebagai sekutu yang dicari untuk kenyamanan, dukungan, dan bimbingan.
Ring 4 - Apa Hal yang Paling Penting yang Bisa Kita Berikan Agar Anak Memiliki Perkembangan yang Sehat?
Ketika anak kasar, tidak menghormati, memukul kita, atau menggigit, permasalahannya selalu karena salah satu batasan yang tidak terpenuhi. Apakah anak merasa lapar akan koneksi dan marah tentangnya, atau orangtua telah gagal membangun batasan yang memadai dan anak merasa bebas untuk menganiaya orangtua itu sendiri.
Koneksi dan respek terhadap sebuah batasan merupakan hal penting bagi perkembangan yang sehat. Mereka saling membangun. Anak harus belajar sangat terhubung, menghormati batasan orang lain dan sama pentingnya, bagaimana merespon ketika batasan mereka dilanggar.
Alat yang paling luar biasa yang kita miliki adalah kehadiran diri kita. Anak duduk dan memperhatikan ketika mereka merasakan kekuatan dari kehadiran kita. Namun kebanyakan dari waktu kita bersama mereka bukan berasal dari kehadiran kita tetapi dari kebiasaan lama.
Kita tidak benar-benar berada di “sini” untuk anak kita. Konflik internal antara apa yang kita lakukan di permukaan dan apa yang kita rasakan di level bawah sadar inilah yang menciptakan masalah yang kita hadapi dengan anak kita.
Ketika anak tidak menghormati kita, tanpa sadar kita yang telah memberikan mereka izin untuk itu. Ini berarti ada bagian dari kita yang senang akan rasa tidak hormat tersebut. Di mana semasa kanak-kanak kita memasukkan sebuah ide bahwa tidak apa-apa bagi orang lain untuk tidak menghormati saya. Anak kita belajar dari situ.
Semua konflik dalam diri anak berasal dari konflik internal bawah sadar diri kita sendiri. Anak kita menyerap cara kita terus menerus. Mereka selalu melihat, mendengar, membuat catatan mental dari apa yang sedang kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya. Ketika orangtua menghadapi kecemasan dengan merokok maka anak akan melakukan hal yang sama.
Ring 5 - Bagaimana Mengatakan “Iya” atau “Tidak” Dengan Efektif?
Seberapa sering kita mengatakan “iya” kepada anak kita tanpa benar-benar memikirkan apa yang sedang kita katakan? “Iya” kita bukanlah sebuah iya yang bermakna yang diungkapkan berdasarkan semua faktor dari situasi saat ini yang ada dalam pikiran, tetapi lebih ke reaksi spontan tanpa pemikiran yang merupakan refleksi dari “mood” kita daripada apa yang dibutuhkan situasi saat ini.
Karena “iya” kita bukanlah yang otentik, anak dengan cepat menyadari ini tidak berdasarkan akal sehat. Sama halnya dengan kata “tidak.” Konsekuensinya, “iya” dan “tidak” tidak memiliki makna, yang mana berarti bisa diargumenkan dan diubah demi kedamaian jika anaknya mendesak cukup keras.
Sebagai contoh ketika seorang anak meminta dibelikan sebuah gadget hanya karena semua temannya punya. Orangtua merasa anak tidak membutuhkannya, tetapi karena ingin menyenangkan anaknya, orangtua meng-iya-kan permintaan tersebut. Alangkah baiknya jika terjadi dialog diskusi antara orangtua dan anak sebelum memutuskan iya atau tidaknya.
Dengan cara demikian anak mulai memahami bahwa sesuatu tidaklah diberikan atau ditolak sembarangan. Tetapi selalu ada proses pemikiran yang serius di balik keputusan untuk memberikan atau menolak. Melalui penggunaan secara konsisten terhadap pembicaraan yang bermakna ini, anak bisa merasakan orangtua mereka bersekutu dengan mereka.
Ketika kehidupan orangtua sendiri menunjukkan integritas, anak jauh lebih bisa menerima kata “tidak” ketika dibutuhkan. Anak memahami bahwa orangtuanya tidak sekedar mengatakan tidak. Anak belajar untuk percaya bahwa selalu ada alasan kuat bagi keputusan orangtua, yang mana membuat mereka percaya akan keputusan ini.
[“Setiap momen bersama anak adalah refleksi dari masa lalu dan pondasi bagi masa depan.”]
Ring 6 - Bagaimana Mengajarkan Anak Agar Bisa Bertahan dan Berhasil Menghadapi Masa Depannya?
Jika orangtua mengeluarkan jenis getaran yang menyambut segala perasaan, bahkan ketika perasaan tersebut sulit untuk ditoleransi, anak belajar tentang hal ini, yang pada akhirnya belajar bagaimana mengatur perasaan mereka dalam cara yang lebih sehat.
Ada banyak cara yang bisa membantu anak kita menaungi dunia mereka. Kreativitas adalah yang dibutuhkan, bukan peringatan atau disiplin. Ketika kita memberdayakan anak kita dengan cara ini, kita memampukan mereka menghadapi stres, sehingga menyiapkan mereka bisa menghadapi trauma seumur hidup dengan kesenangan bukan ketakutan. Bagaimana kita membantu mereka ketika mereka kecil, itulah bagaimana mereka akan bertahan menghadapi krisis dewasa nantinya.
Ketika anak diijinkan untuk merasakan persis apa yang sedang mereka rasakan sambil menerima dukungan dari kita, perasaan tersebut menjadi terpadu bukan malah memisahkan diri. Perasaan tidak pernah pergi ketika mereka tidak diijinkan untuk menjadi apa adanya, tetapi berubah menjadi bentuk yang menyimpang yang bisa terwujud dalam perilaku yang menyimpang.
Dengan kata lain, perasaan yang disangkal memiliki cara untuk terwujud, menjadi kanker emosional. Sekarang mereka muncul di mana pun, mungkin gangguan tidur, mimpi buruk, masalah fisik seperti sakit perut, sakit kepala – dan, dalam situasi yang lebih ekstrim, berakting atau bahkan depresi.
Ring 7 - Seberapa Penting Menghargai Perasaan Anak?
Ketika kita memasuki perjalanan pengasuhan dengan pemahaman pentingnya koneksi dengan perasaan anak kita dan menciptakan ruang terbuka agar suara otentik mereka bisa terdengar, kita melalui energi pengalaman yang berbeda pada mereka.
Diktatoris, pola asuh mengendalikan sekarang berpindah menjadi bermitra dengan anak, yang mana berarti kita menghargai perasaan mereka dan oleh karenanya mempertimbangkan sepenuhnya kebutuhan mereka.
Menghargai perasaan berarti menerima fakta bahwa perasaanlah yang mendukung segala hal yang kita lakukan. Seperti yang kita lihat, tindakan merupakan ekspresi dari perasaan, kita perlu memulai dengan bagaimana menyadari perasaan anak kita.
Bukan berarti kita menyerah pada keinginan anak semuanya. Menghargai perasaan anak adalah tentang selaras dengan perkembangan holistik anak kita, tidak penting dengan keinginan mereka pada waktu tertentu.
Ingatlah, Kelayakan usia adalah dasar pola asuh yang efektif. Kita melakukan tindakan merugikan pada anak dengan memposisikan mereka dalam situasi di mana mereka belum cukup dewasa untuk menangani hal tersebut.
Semua orangtua pasti melalui masa kekacauan ketika membesarkan anak, dalam waktu bersamaan mengalami berbagai gangguan terhadap jadwal mereka. Malam hari ketika anak terganggu karena mengompol, mimpi buruk, adalah hal yang normal.
Jika kita melihat masa ini sebagai pengalaman wajar daripada menganggap anak “jahat”, masalah tersebut menjadi salah satu cara mentoleransi kecemasan dan frustasi yang terpicu dalam fase pertumbuhan anak ini.
Daripada merusak anak kita dalam periode pergolakan ini, tugas kita adalah menenangkan dan memusatkan diri sehingga kita bisa mengarungi ombak yang timbul dalam proses membesarkan anak. Ada banyak puncak dan lembah ombak yang harus dilayari orangtua tanpa memberi label “baik” atau “buruk” kepada anak.
Ketika anak tidak merasa aman mengungkapkan pemikirannya, dua dinamika terjadi. Satu, mereka menguburkan perasaan mereka, karena tidak bisa diterima dan mungkin bahkan tidak aman untuk mengekspresikan apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam diri mereka.
Yang kedua adalah bahwa mereka mengekspresikan disosiasi dari dalam diri mereka dengan berakting. Karena kita belum selaras dengan perasaan mereka, mereka mengabaikan perasaan kita. Ini adalah akar pemutusan koneksi antara begitu banyak anak dan orangtua.
Ring 8 - Bagaimana Menanamkan Prinsip ‘Menjadi Diri Sendiri’ Pada Anak?
Menjadi diri kita yang seutuhnya sama sekali berbeda dengan menutup diri dari orang lain. Menjadi diri kita yang seutuhnya adalah kemampuan untuk benar-benar jujur terhadap diri sendiri dan masih tetap berhubungan dekat dengan orang lain. Dalam setiap tingkat perkembangan, kita bisa sebaik mungkin jujur dengan diri kita dan menikmati ikatan batin yang bermakna sekaligus.
Menjadi diri kita yang seutuhnya mengembangkan keterbukaan dan berbagi, bukan jarak dan hati yang tertutup. Iya, perlu ada privasi ketika anak bertumbuh, bersamaan dengan penciptaan relasi terpisah yang mungkin tidak melibatkan orangtua. Ini adalah kondisi yang sehat. Tetapi ini bukan berarti melemahkan ikatan batin dengan orangtua dan saudara kandung.
Orangtua secara tradisional memiliki ekspektasi untuk mengetahui segala hal tentang anak mereka. Ketika anak masih kecil, ini perlu. Tetapi perlu ada penyapihan bertahap karena orangtua mulai percaya anak adalah pilot atas kehidupan mereka sendiri. Ada sebuah transisi.
Jika kita menghargai proses alami ini, anak kita akan ingin berbagi bersama kita aspek kehidupan mereka yang pantas untuk dibagikan. Mereka tidak akan menolak kita karena mereka merasa kita sedang mengganggu privasi mereka – atau, di sisi lain, kita secara emosional tidak tersedia bagi mereka dan oleh karenanya tidak benar-benar tertarik dengan hal-hal tentang mereka.
Orangtua sering menciptakan peraturan yang tidak perlu diciptakan. Dengan alasan ini, sangatlah bijaksana bagi orangtua untuk memeriksa ulang maksud dari semua peraturan ini, tanyakan apakah peraturan ini benar-benar terbaik bagi perkembangan holistik anak remaja Anda.
Ring 9 - Bagaimana Cara Tepat Membangun dan Mempertahankan Koneksi dengan Anak?
Seringnya bukan karena kekurangan disiplin, tetapi koneksi ke dalam perasaan anak yang terputus. Taktik disiplin apapun yang digunakan orangtua hanya mengabadikan perasaan terputus yang ada dalam diri anak.
Kita seharusnya bertanya pada diri sendiri, “Apakah lebih penting anak saya belajar aljabar, atau belajar bagaimana menjadi benar-benar berada pada setiap momen saat ini dan menjalin relasi dengan teman sekelas dalam cara yang mendukung dan mengasihi?”
Kita perlu terhubung dengan anak kita daripada membayang-bayangi mereka untuk memperbaiki mereka. Semua anak mendambakan koneksi (connection) bukan koreksi (correction). Mereka tidak menginginkan apa-apa selain perasaan dicintai atas siapa diri mereka sebenarnya dalam diri mereka yang otentik. Bukan dihargai karena mereka adalah akar dari semua perilaku negatif, permasalahan psikologi, dan disfungsi sosial, termasuk kriminalitas.
Menjadi nyaman dengan keheningan merupakan bagian penting dari langkah pertama dalam metode enam langkah untuk membangun dan mempertahankan koneksi dengan anak 6 langkah ini adalah WINNER:
W – Witness – menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi dalam momen masa kini. Menjadi saksi terhadap apa yang sedang terjadi memerlukan kemampuan untuk melangkah keluar dari peran orangtua dan hanya memperhatikan apapun yang sedang berlangsung.
I – Investigate – Ini bukan berarti kita mengintai kehidupan anak kita seperti penyelidik. Namun tentang mengetahui alasan pokok apa yang sedang terjadi.
N – Neutrality – Karena kondisi emosional kita sendiri, kita memiliki kecenderungan membawa emosi yang tidak penting ke dalam interaksi dengan anak kita. Hadapilah terlebih dahulu kondisi emosi kita sebelum berinteraksi dengan anak.
N – Negotiate – Seni negosiasi adalah salah satu keahlian yang paling berharga yang bisa kita kembangkan jika kita mengatur siasat melalui kompleksitas kehidupan dalam cara yang mendekat kepada kita daripada menjauh dari kita.
E – Empathize – Empati ditemani oleh respek bagi orang yang sedang dalam perjalanan kehidupannya. Hanya hingga pada tingkat kita secara emosional bisa terkoneksi dengan diri sendiri baru kita mampu ada bersama orang lain dalam pengalaman mereka tanpa perlu menjadi apapun selain apa adanya.
R – Resolve – Untuk menyelesaikan sebuah konflik, berarti permasalahan yang ada diproses sepenuhnya sehingga tidak ada isu picik yang tersisa dan sedang berputar.
SHEFALI TSABARY, PhD, - Menerima gelar doktor- nya di Clinical Psychology dari Columbia University, New York. Dr. Tsabary terkenal dengan Eastern Mindfulness pada usia yang muda dan mengintegrasikan ajarannya dengan psikologi Barat. Gabungan Timur dan Barat ini memungkinkannya mencapai audiens global. Kemampuannya menarik audien dari ranah psikologis cerdik dan dorongan kesadaran membangunnya sebagai salah satu pakar di bidang pengasuhan (parenting).
Kini Risa paham apa yang perlu dilakukannya agar ia bisa mendidik anaknya dengan baik, tanpa harus mengorbankan hubungan mereka. Beberapa hal yang dicatat oleh Risa dari buku ini adalah:
- Kebanyakan orangtua menemukan diri mereka berada di dalam sebuah sistem yang tidak pernah berakhir dari barteran dengan anak mereka.
- Jika kita tidak terhubung dengan perasaan anak kita, kita tidak akan pernah bisa terhubung dengan perilaku mereka.
- Konsekuensilah yang sebetulnya membuat bagaimana anak belajar agar bisa mengarahkan diri dan bertanggungjawab.
- Alat yang paling luar biasa yang kita miliki adalah kehadiran diri kita.
- Setiap momen bersama anak adalah refleksi dari masa lalu dan pondasi bagi masa depan.
- Ada banyak cara yang bisa membantu anak kita menaungi dunia mereka. Kreativitas adalah yang dibutuhkan, bukan peringatan atau disiplin.
- Sangatlah bijaksana bagi orangtua untuk memeriksa ulang maksud dari semua peraturan ini, tanyakan apakah peraturan ini benar-benar terbaik bagi perkembangan holistik anak remaja Anda.
- Semua anak mendambakan koneksi (connection) bukan koreksi (correction).
Terima kasih telah menyimak BaRing kali ini, semoga manfaatnya bisa Anda rasakan juga. Sukses selalu. Sampai bertemu di BaRing berikutnya.
Jangan lupa untuk melayangkan saran dan kritik Anda ke email kami di: ingat@baring.digital.
Rekomendasi Baring Lainnya