INVISIBLE FORCES AND POWERFUL BELIEFS – Gravity, Gods, and Minds
The Chicago Social Brain Network
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Randy orang yang sangat tertarik dengan filsafat. Kali ini, ia dan teman-temannya memperdebatkan antara sains dan agama. Ada temannya yang ngotot agama dan sains tak bisa disatukan karena bertentangan. Ada juga temannya yang berpendapat bahwa sains dan agama bisa saling melengkapi atau keduanya bisa sejalan.
Tapi bagi Randy sendiri, dia masih sangat bingung karena argumen temannya yang pertama masuk akal, begitu juga dengan argumen temannya yang kedua.
Saking penasarannya, ia pun membeli buku “Invisible Forces and Powerful Beliefs: Gravity, Gods, and Minds” karya Chicago Social Brain Network. Sebetulnya, dia sendiri belum punya gambaran besar apa isi buku itu. Tapi melihat judulnya yang ada unsur “God”, “Gravity”, dan “Mind”, dia menebak buku itu membahas hubungan antara sains dan agama atau spiritual.
Hanya ada satu pertanyaan yang ingin dia jawab dengan buku itu, yakni apakah agama dan sains bertolak belakang atau sebenarnya justru sejalan. So, akankah ia menemukan jawaban di buku tersebut?
Yuk ikuti kisahnya dalam BaRing berikut ini.
Ring 1 - Apa Gambaran Besar Buku Ini? Orang?
Secara garis besar buku ini membahas perdebatan filosofis antara para ilmuwan ateis dengan kelompok yang mempercayai agama, tentang kenapa manusia memiliki dorongan untuk mencari makna hidup.
Buku ini berangkat dari ketidakpuasan sekelompok ilmuwan yang tergabung dalam Chicago Social Brain Network dengan kedua kelompok tersebut (kelompok ateis dan kelompok teis) yang sama-sama mengklaim bahwa argumen merekalah yang benar (kelompok ateis dengan argumen bahwa dorongan untuk mencari makna hanyalah ilusi, dan kelompok teis dengan argumen bahwa dorongan untuk mencari makna adalah bukti bahwa manusia membutuhkan alasan untuk hidup, yang artinya mereka membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka, sesuatu yang bersifat sakral dan transenden).
Buku ini menjadi semacam media diskusi antar sesama anggota jaringan tersebut (jaringan Chicago Social Brain Network) untuk menjawab pertanyaan bagaimana dorongan untuk mencari makna timbul dalam diri manusia.
Adapun beberapa ilmuwan yang tergabung dalam jaringan ini antara lain ilmuwan di bidang antropologi, biologi, ilmu sosial, psikologi, neurologi, dan statistik. Di samping itu, jaringan ini juga mengundang para teolog dan filsuf untuk memberikan pandangan mereka.
Ring 2 - Apa Maksud “Invisible Forces” dan “Powerful Beliefs” dalam Buku Ini?
Dalam buku ini, maksud invisible forces adalah kekuatan yang menimbulkan berbagai dorongan batiniah seperti dorongan untuk mencari makna hidup, kebutuhan akan terhubung (being connected) dengan orang lain, dan kebutuhan akan spiritual.
Sedangkan maksud dari powerful beliefs dalam buku ini adalah kekuatan dari keyakinan-keyakinan pada hal-hal yang bersifat batiniah, seperti misalnya kepercayaan bahwa doa bisa menyembuhkan penyakit, mendekatkan diri kepada Tuhan bisa menyembuhkan gangguan mental, dst.
Orang-orang yang percaya adanya Tuhan mempercayai bahwa invisible power berasal dari Tuhan. Mereka percaya bahwa dorongan-dorongan tersebut mencerminkan fitrah manusia yang selalu dan akan selalu terikat dengan Tuhan.
Sementara itu, para ilmuwan ateis berpendapat bahwa invisible power lahir dari khayalan manusia. Sebagai contoh Yuval Noah Harari yang berargumen bahwa Tuhan, agama, dan turunannya hanyalah mitos alias sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Begitu juga dengan Richard Dawkins yang menulis buku “God Delusion.”
Sedangkan para ilmuwan yang tergabung dalam Chicago Social Brain Network memiliki hipotesis bahwa invisible power berasal dari otak manusia yang telah mengalami evolusi ratusan atau jutaan tahun yang lalu.
Namun, yang masih menjadi pertanyaan bagi jaringan ini adalah, bagaimana otak masing-masing orang yang terpisah satu sama lain bisa melahirkan kebutuhan akan terhubung/being connected, baik dengan orang lain maupun dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka.
Lebih lanjut, pertanyaan yang tidak kalah penting yang ingin dijawab oleh jaringan ini adalah, bagaimana invisible forces membentuk dan dibentuk oleh manusia, dan apakah kebutuhan untuk bertuhan terprogram permanen alias hardwired di dalam otak manusia, dalam arti apakah kebutuhan untuk bertuhan diturunkan secara genetis dari nenek moyang manusia.
Ring 3 - Kenapa Sub-Judul Buku Ini “Gravity, Gods, and Minds”?
Karena para penulis buku ini mengandaikan invisible forces ibarat gravity alias gaya gravitasi.
Gaya gravitasi, meskipun tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan dan dibuktikan keberadaannya. Demikian juga dengan invisible forces, meskipun tidak bisa dilihat tapi dampaknya bisa dirasakan, baik oleh mereka yang tidak percaya adanya Tuhan maupun oleh mereka yang percaya pada adanya Tuhan.
Sementara itu, invisible forces sendiri berkaitan erat dengan mind alias pikiran manusia. Invisible forces mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pemikiran manusia, baik yang datang dari pemikiran sendiri maupun dari pemikiran yang diajarkan oleh lingkungan.
Ring 4 - Apa Argumen Inti dari Buku Ini?
Argumen inti buku ini adalah bahwa dorongan untuk mencari makna, kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain dan sesuatu yang lebih besar (yang menurut penganut agama dianggap sebagai kebutuhan untuk terhubung dengan Tuhan), dan kebutuhan akan spiritual lahir dari hasil evolusi otak manusia ratusan ribu atau jutaan tahun yang lalu.
Hasil evolusi ini terjadi karena sebelum manusia berevolusi menjadi manusia modern seperti sekarang mereka harus hidup di alam liar dengan berbagai predator yang mengancam jiwa mereka.
Tidak seperti binatang lain yang memiliki senjata alami untuk melawan predator dan membunuh mangsa, manusia hanya memiliki kedua tangannya yang terbebas dari tugas untuk menopang tubuh.
Dengan kemampuan yang sangat minim tersebut, manusia harus hidup berkelompok agar bisa melawan predator maupun memburu binatang-binatang yang ukurannya jauh lebih besar dari mereka seperti mammoth.
Oleh karena itulah, lama-kelamaan otak mereka pun berevolusi sedemikian sehingga memungkinkan mereka untuk bisa hidup berkelompok dengan efektif. Di samping otak, organ bicara (speech organ) manusia pun juga berevolusi, dari yang awalnya hanya bisa memproduksi beberapa suara menjadi bisa memproduksi banyak suara. Bukan hanya itu, berbeda dengan burung kakatua yang meskipun bisa bicara tapi tak memahami apa yang ia bicarakan, organ bicara manusia yang terhubung dengan otak secara kompleks memungkinkan manusia untuk memahami apa yang dibicarakan.
Dengan evolusi ini, dalam otak manusia terprogram secara permanen berbagai program yang memungkinkan manusia untuk memahami orang lain, seperti misalnya ekspresi wajah, nada bicara, dan gestur tubuh orang lain.
Misal, seorang anak yang melihat ibunya marah, secara alami akan memahami bahwa ekspresi tersebut bermakna negatif. Hal ini memungkinkannya untuk merespons dengan respons yang sesuai (misal sedih, cemberut, atau ikut marah). Memahami ekspresi orang lain termasuk ekspresi marah tidak dibutuhkan pengajaran. Seorang anak akan paham dengan sendirinya karena hal tersebut terprogram di otaknya secara permanen, di mana program ini diturunkan secara genetis dari nenek moyang kita.
Nah, para ilmuwan yang tergabung di dalam Chicago Social Brain Network menyebut hasil evolusi ini sebagai social brain alias otak sosial.
Dengan otak sosial, kehidupan manusia tidak lagi ditentukan oleh dirinya sendiri melainkan juga oleh orang lain dan masyarakat (sesuatu yang lebih besar dari individu). Dengan otak sosial, hidup dan diri manusia kini dibentuk baik oleh dirinya sendiri maupun oleh masyarakat tempat dia hidup. Dan sebaliknya, masing-masing individu pun memiliki peran untuk membentuk masyarakat.
Dengan realitas seperti ini kita tidak bisa lagi memahami perilaku seseorang hanya lewat faktor biologis dan genetisnya saja. Anggapan umum yang sering dipercaya adalah, untuk memahami individu maka yang dibutuhkan hanyalah melihat bagaimana genetikanya, keturunannya siapa, dan makanannya apa. Kalau orangtuanya baik maka anaknya secara genetis juga akan bersifat baik, misalnya. Demikian juga, kalau makanannya bergizi maka anak akan otomatis tumbuh cerdas.
Otak sosial menegasikan anggapan yang demikian. Sebaliknya, otak sosial membalik pemahaman kita bahwa perilaku, kecerdasan, pemikiran, dan sifat kita dibentuk baik oleh faktor biologis maupun faktor sosial dan bahwa kumpulan individu tidak sama dengan masyarakat. Meskipun masyarakat terdiri dari individu-individu, tapi masyarakat “lebih besar” dari jumlah individu. Para ilmuwan menyebutnya dengan “yang keseluruhan jauh lebih besar dari jumlah bagian-bagian penyusunnya.” Atau dalam kata lain, masyarakat dibentuk oleh kumpulan individu tapi sekaligus berbeda dengan masing-masing individu tersebut.
Dengan otak sosial ini jugalah lahir kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain dan juga dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Lalu, bagaimana dengan dorongan untuk mencari makna hidup? Dorongan itu muncul dari otak manusia yang juga memang terprogram secara permanen sedemikian rupa untuk mencari pola dari segala sesuatu yang ia lihat atau dengar. Dan, sama dengan otak sosial, program ini juga terbentuk dari hasil evolusi otak manusia akibat dorongan untuk memahami kejadian atau situasi yang ia temui.
Ring 5 - Apakah Buku Ini Berargumen Bahwa Sains dan Agama bisa Sejalan?
Kalau memahami apa yang dijelaskan di Ring 4, buku ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa agama tidak sejalan dengan sains karena bahkan kebutuhan untuk mencari makna hidup dan kebutuhan untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar yang sekilas tampak bersifat batiniah ternyata hanyalah hasil dari evolusi otak manusia.
Dalam kata lain, kebutuhan yang sekilas tampak bersifat batiniah ternyata tetap bisa dijelaskan secara ilmiah bagaimana kemunculannya.
Dan di sini, tidak diperlukan campur tangan Tuhan untuk melahirkan kebutuhan tersebut.
Chicago Sosial Brain Network, adalah sebuah jaringan kerjasama yang beranggotakan lebih dari selusin ilmuwan yang tidak terikat oleh bidang-bidang atau metode tertentu. Tujuan jaringan kerjasama ini adalah untuk menghilangkan jarak dan kesalahpahaman yang telah berkembang di antara ilmu pengetahuan dengan kemanusiaan dalam memandang dunia, dan untuk memberikan tambahan pengetahuan bagi manusia.
Akhirnya, tuntas sudah perjalanan Randy dalam memahami buku “Invisible Forces and Powerful Beliefs.” Ia pun merasa puas karena pada akhirnya menemukan insight-insight menarik, di antaranya:
- Buku ini membahas apakah dorongan untuk mencari makna hidup dan kebutuhan akan spiritual datang dari dorongan ilahiah atau bisa dijelaskan secara ilmiah.
- Dari hasil diskusi panjang antar penulis buku ini pada akhirnya ditarik kesimpulan bahwa dorongan untuk mencari makna lahir dari otak manusia yang terprogram sedemikian rupa untuk selalu mencari pola di balik setiap hal yang dilihat dan didengar.
- Kebutuhan untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar juga lahir dari otak yang terprogram sedemikian rupa memudahkan manusia untuk hidup secara sosial dengan sesamanya.
Terima kasih telah menemani perjalanan Randy, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di Baring selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya