How Emotions Are Made
Lisa Feldman Barrett
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Emosi seperti rasa cinta, benci, marah, kecewa, dan sebagainya sangat menarik untuk dibahas. Terlebih, meskipun kelihatannya sederhana, tapi nyatanya emosi menyisakan banyak misteri. Banyak orang yang percaya bahwa menangis menunjukkan emosi sedih. Tetapi toh ada orang yang menangis saat bahagia. Banyak juga yang percaya bahwa tersenyum menunjukkan emosi bahagia. Tapi, banyak juga yang tersenyum saat bersedih. Lalu, sebenarnya, apa itu emosi?
Itulah juga yang membuat Rezal penasaran. Rezal memanglah orang yang suka penasaran pada banyak hal. Dan, salah satu hal yang membuatnya sangat penasaran adalah emosi. Terlalu banyak hal terkait emosi yang membuatnya bingung. Apakah emosi nyata, apakah ekspresi emosi berlaku universal, apakah emosi dan logika dua hal yang berbeda atau keduanya saling bergantung satu sama lain, dan masih banyak lagi.
Untuk menjawab rasa penasarannya, ia pun membaca berbagai buku bertema emosi. Salah satunya berjudul “How Emotions Are Made: The Secret Life of the Brain” karya Lisa Feldman Barrett.
Membaca judul buku tersebut, Rezal optimis dia akan menemukan gambaran komprehensif mengenai emosi. Atau, paling tidak, mendapatkan banyak insight untuk memahami emosi lebih baik.
So, akankah ia menemukan apa yang dicarinya? Yuk, temani Rezal dalam BaRing berikut ini.
Ring 1 - Benarkah Semua Orang Memiliki Ekspresi yang Sama untuk Emosi yang Sama?
Banyak orang yang berpikir bahwa kedalaman hati seseorang bisa dikenali lewat ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuhnya. Dikatakan bahwa orang yang berbohong akan berbicara dengan mata yang tidak fokus, wajah yang memerah, gerak-gerik tubuh yang gelisah, dan berkeringat akibat takut kebohongannya akan terungkap.
Dan, bukan hanya orang awam saja yang berpikir demikian. Ilmu sains modern beranggapan bahwa ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuh merupakan refleks alami saat kita merasakan emosi. Sains modern juga percaya bahwa setiap emosi memiliki bentuk ekspresi tersendiri yang berbeda dari emosi-emosi lainnya. Dan, pada semua orang, emosi yang sama terekspresikan dengan cara yang sama.
Emosi sedih, contohnya, terekspresikan dengan menangis. Emosi senang, dengan tersenyum. Emosi marah, dengan melotot. Dan ini terjadi secara refleks ketika kita mengalami emosi-emosi tersebut.
Lebih jauh, sains modern juga menganggap bahwa ekspresi emosi merupakan sarana yang sangat penting bagi manusia sebagai makhluk sosial. Ekspresi emosi dianggap berfungsi untuk mengkomunikasikan perasaan kepada orang lain. Ketika kita melihat orang lain menangis, secara alami (tanpa diajari) kita paham bahwa orang tersebut sedang bersedih. Demikian pula saat ada orang yang melotot, secara refleks kita tahu bahwa orang tersebut sedang marah. Ini juga menjadi dasar bagi timbulnya empati.
Nah, karena setiap emosi yang kita alami secara refleks memunculkan ekspresi yang menggambarkan emosi tersebut, dan karena ini berlaku pada semua orang, sains pun menyimpulkan bahwa ekspresi emosi mengkodekan emosi secara fixed. Artinya, kapanpun, dimanapun, dan dalam konteks apapun, emosi yang sama akan selalu terekspresikan dengan cara yang sama.
Sedih akan selalu terekspresikan dengan menangis, baik dulu, sekarang, maupun sampai kapan pun.
Dengan pemahaman seperti ini, para ilmuwan berhasil menemukan berbagai teknik dan alat yang diklaim bisa mendeteksi emosi seseorang. Sebagai contoh alat pendeteksi kebohongan, yang bekerja dengan mendeteksi respons fisiologis seperti perubahan tekanan darah dan denyut nadi yang muncul karena takut, yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan memang berbohong.
Contoh lain, teknik mendeteksi kebohongan dengan memperhatikan gerak-gerik tubuh dan ekspresi wajah. Pemerintahan Amerika Serikat pernah menghabiskan dana 900 juta Dollar AS untuk melatih petugas sekuriti bandara untuk bisa mengenali teroris dengan teknik ini.
Sampai sekarang, pemahaman seperti ini terasa self-evident alias terbukti tepat dengan sendirinya dan tak perlu dipertanyakan lagi….setidaknya sampai seorang pakar Neurosains, yang tak lain adalah penulis buku ini, mempertanyakannya.
Ya, penulis buku ini mempertanyakan benarkah setiap emosi selalu terekspresikan dengan cara yang sama dan benarkah bahwa semua orang memiliki ekspresi yang sama untuk emosi yang sama?
Kalau diamati lebih dalam, emosi seperti rasa takut bisa terekspresikan dengan cara yang berbeda-beda, dan sebaliknya emosi yang berbeda-beda (misalnya takut dan senang) bisa terekspresikan dengan cara yang sama.
Orang yang senang mungkin saja tersenyum. Tapi, tidak menutup kemungkinan ekspresi yang muncul malah menangis. Begitu juga orang yang sedih, mungkin dia akan menangis. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, ekspresi yang muncul adalah justru tertawa.
Fakta ini mengusik para ilmuwan, termasuk penulis buku ini. Dan, buku ini berisi perjalanan si penulisnya menjawab pertanyaan tersebut.
Selesai membaca buku ini, Anda akan mendapatkan pemahaman yang sama sekali berbeda dari sebelumnya tentang apa itu emosi. Anda juga akan memahami apakah ekspresi emosi merupakan respons yang alami dan diturunkan secara genetis, atau harus dipelajari.
Ring 2 - Apakah Emosi Selalu Terekspresikan dengan Cara yang Sama?
Untuk menjawabnya, penulis buku ini menelusuri berbagai penelitian tentang ekspresi emosi.
Penelitian yang pertama ia telusuri adalah yang dilakukan oleh pakar psikologi Silvan S. Tomkins, Carroll E. Izard, dan Paul Ekman. Ketiga pakar ini ingin membuktikan apakah ekspresi emosi berlaku universal (berlaku sama pada semua orang sepanjang waktu) atau tidak.
Untuk mengungkapnya, mereka membuat foto berbagai ekspresi wajah, di mana model yang difoto memperagakan beberapa ekspresi yang dipercaya mewakili beberapa emosi dasar (basic emotion), seperti senang, sedih, takut, dan terkejut. Dalam memperagakan beberapa emosi ini, para model tersebut tidak benar-benar merasakan emosi yang diperagakannya. (Mari kita sebut foto ekspresi emosi ini basic emotion method, dan ini menjadi standar ekspresi emosi yang dipercayai berlaku universal).
Kemudian, para peneliti meminta partisipan dari berbagai kelompok masyarakat untuk menyebutkan satu per satu emosi yang diekspresikan oleh masing-masing foto itu. Salah satu kelompok masyarakat yang mereka survei adalah masyarakat Papua New Guinea. Dari survei tersebut, diketahui bahwa ternyata masyarakat Papua New Guinea memahami bahwa ekspresi yang ada di beberapa foto itu adalah ekspresi senang, sedih, takut, dan terkejut. Ini menunjukkan, tidak adanya perbedaan antara masyarakat Barat (yang merupakan asal para peneliti) dengan masyarakat Papua New Guinea dalam memahami ekspresi wajah. Masyarakat dari dua budaya yang berbeda ini sama-sama memahami bahwa tersenyum menunjukkan rasa senang, cemberut menunjukkan rasa sedih, dan melotot menunjukkan rasa terkejut.
Bagaimana dengan kelompok masyarakat lainnya? Setelah melakukan survei terhadap masyarakat Jepang dan Korea, ternyata hasilnya pun sama: tidak ada perbedaan dalam memahami ekspresi emosi antara masyarakat Barat, Papua New Guinea, Jepang, dan Korea. Ini menunjukkan bahwa ekspresi emosi berlaku universal.
Akan tetapi, ada beberapa pakar lain yang meragukan hasil riset tersebut. Mereka beranggapan bahwa riset tersebut tidak bisa diandalkan karena metodenya subjektif dan hanya berdasarkan pada persepsi segelintir orang.
Oleh karena itu, para pakar ini menggunakan metode yang dianggap lebih objektif, yakni dengan memasang sebuah alat yang disebut Electromyography (EMG) di wajah partisipan untuk menelusuri gerak otot dan pola yang terbentuk dari gerak tersebut saat partisipan mengalami emosi tertentu.
Kemudian, para partisipan diminta untuk membayangkan kejadian-kejadian yang pernah mereka alami yang membangkitkan emosi tertentu dalam diri mereka.
Ketika partisipan membayangkan kejadian sedih, para pakar mencatat pola gerak otot yang terekam pada alat EMG. Demikian juga ketika partisipan membayangkan kejadian menyenangkan, menakutkan, dan sebagainya.
Dari riset tersebut diketahui bahwa ternyata pola yang terbentuk sangatlah acak. Setiap partisipan menghasilkan pola gerak otot yang berbeda saat merasakan emosi yang sama dengan yang dirasakan partisipan lain, sehingga mustahil untuk bisa menentukan pola ekspresi sedih, senang, marah, kecewa, dan seterusnya yang berlaku universal.
Penelitian lain menyimpulkan hal yang sama. Dalam sebuah penelitian, sejumlah bayi dikejutkan dengan mainan gorilla untuk membuat mereka takut. Kemudian, wajah para bayi itu disamarkan sehingga ekspresi yang muncul di wajah mereka tidak terlihat. Akan tetapi, ketika orang-orang dewasa diminta untuk menyebutkan apa yang para bayi itu rasakan saat dikejutkan dengan mainan gorilla, para orang dewasa ini menjawab bahwa para bayi itu takut. Ini menunjukkan bahwa orang-orang dewasa yang menjadi para partisipan mengenali emosi bayi bukan melalui ekspresi wajah mereka melainkan melalui konteks.
Di samping itu, bayi-bayi tersebut juga tidak menunjukkan ekspresi takut yang sesuai dengan standar basic emotion method.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat, penulis buku ini menelusuri penelitian tentang bagian otak yang mengatur emosi. Selama ini sains modern menganggap bahwa emosi diproduksi oleh beberapa bagian otak tertentu, sehingga jika bagian-bagian itu rusak maka penderita kerusakan otak tidak bisa merasakan emosi yang diatur oleh bagian-bagian tersebut. Dan, jika hal ini benar, maka itu artinya emosi bergantung pada sel-sel otak (neuron) yang ada di bagian-bagian tersebut. Dan ini juga menunjukkan bahwa setiap emosi memiliki ekspresi tersendiri yang berbeda satu sama lain, di mana ekspresi-ekspresi tersebut dihasilkan dari aktivitas neuron yang bersangkutan.
Contohnya adalah emosi takut. Para ilmuwan percaya bahwa rasa takut diproduksi oleh bagian otak yang disebut amigdala. Dalam sebuah studi terhadap seseorang (berinisial SM) yang menderita Urbach-Wiethe, sebuah kelainan genetis dimana si penderita tidak memiliki rasa takut pada apapun, diketahui bahwa ternyata kelainan itu disebabkan oleh karena amigdala-nya rusak. Akan tetapi, anehnya, SM mengenali ketakutan yang dirasakan oleh orang lain dari gerak tubuh dan suara mereka. Di samping itu, SM juga bisa mengalami serangan panik. Ini menunjukkan bahwa rasa takut tidak selalu berkaitan dengan amigdala.
Penelitian lain terhadap dua anak kembar identik menunjukkan hal yang sama. Kedua anak tersebut juga menderita Urbach-Wiethe. Namun demikian, satu anak kehilangan rasa takut seperti SM, sedangkan anak yang satunya lagi tetap memiliki rasa takut. Temuan ini mematahkan gagasan bahwa amigdala berisi sirkuit yang menghasilkan rasa takut.
Di samping itu, para peneliti juga mengamati penderita kerusakan otak di bagian-bagian yang dipercaya mengatur emosi lain selain rasa takut. Namun, hasilnya pun sama, ternyata para penderita tetap bisa merasakan emosi yang dianggap dihasilkan oleh bagian yang rusak tersebut.
Dari sejumlah peneliti ini, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa otak memiliki banyak cara untuk memproduksi emosi, bukan hanya melalui satu bagian/area tertentu. Dalam kata lain, sebuah emosi dapat tercipta dari kombinasi berbagai neuron yang berbeda. Dan, dalam ilmu Neurosains, ini disebut prinsip degeneracy.
Degeneracy dapat kita temukan dalam penelitian terhadap sejumlah partisipan yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Kedua kelompok tersebut diperlihatkan gambar seseorang yang sedang melakukan skydiving dan gambar mayat berlumuran darah, sembari otak mereka di-scan untuk melihat area mana yang aktif ketika melihat kedua gambar tersebut. Ketika ditanya apa yang mereka rasakan saat melihat dua gambar itu, kedua kelompok sama-sama menjawab bahwa mereka merasa bergidik dan dari layar scan terlihat bahwa pada kedua kelompok tersebut, dua area otak yakni anterior insula dan visual cortex sama-sama aktif. Akan tetapi, pada kelompok perempuan, bagian anterior insula jauh lebih aktif dibanding visual cortex. Sedangkan pada kelompok laki-laki, yang lebih aktif adalah visual cortex.
Namun demikian, di samping degeneracy, para pakar juga menemukan bahwa ternyata dalam memproduksi emosi, satu bagian otak juga bisa terlibat dalam penciptaan berbagai macam emosi.
Nah, dari sejumlah penelitian barusan, penulis buku ini menyimpulkan bahwa emosi tidak selalu terekspresikan dengan cara yang sama. Pada suatu waktu, seseorang yang sedih bisa menunjukkan ekspresi murung dan di waktu yang lain menunjukkan kesedihannya dengan tersenyum. Begitu juga dengan orang lain.
Ring 3 - Apakah Ekspresi Emosi Merupakan Hal yang Alami atau Hanya Konstruksi Sosial?
Untuk menjawabnya, mari kita mulai dari sebuah benda, katakanlah pintu. Seperti yang sering kita lihat, yang namanya pintu rata-rata berbentuk persegi panjang dan memiliki satu gagang di salah satu sisinya, yang berfungsi untuk membuka pintu tersebut.
Setiap kali kita melihat benda dengan ciri-ciri seperti itu (berbentuk persegi panjang dan memiliki gagang), maka otak kita langsung mengenali benda itu sebagai pintu, sekalipun antara satu pintu dengan pintu yang lain bahan dan warnanya tidak sama persis.
Ada pintu yang warnanya coklat, hijau, merah, dan seterusnya. Begitu juga dengan bahannya. Ada yang full kayu, ada juga yang terdiri dari kayu dan kaca. Dan, ada juga yang bahannya terbuat dari besi.
Nah, itulah cara bagaimana otak kita mengenali sebuah benda. Otak kita mengenali sebuah benda dengan mencocokkannya dengan pengalaman kita. Kalau sebelumnya kita melihat pintu sebagai benda berbentuk persegi panjang dan bergagang, maka saat kita melihat benda dengan pola yang sama, secara otomatis, otak kita akan menyimpulkan bahwa benda itu juga pintu.
Kalau kita dulu belajar bahwa kursi adalah benda “berkaki” empat dan berfungsi untuk duduk, maka setiap kali kita melihat benda yang memiliki pola seperti itu, secara otomatis otak kita akan langsung menangkapnya sebagai kursi, meskipun bentuk, bahan, dan warnanya tidak sama persis.
Dalam perkataan penulis buku ini, kita mengenali benda melalui konsep yang cocok dengan benda tersebut. Kita bisa mengenali sebuah pintu karena otak kita telah menyimpan konsep “pintu” yang berupa benda persegi panjang dengan gagang di satu sisinya dan fungsinya adalah untuk menutup ruangan.
Kenapa UFO disebut UFO (Unidentified Flying Object) alias objek yang belum teridentifikasi adalah karena otak kita tidak menyimpan konsep tentang benda yang bentuknya aneh, mirip piring tapi terbang dan oleh karenanya kita merasa asing dengan benda tersebut.
Para pakar menyebut cara manusia mengenali benda berdasarkan konsep yang telah dikenalnya sebagai simulasi. Dan, simulasi tidak hanya berlaku dalam mengenali benda konkret. Dalam mengenali benda abstrak seperti suara, sensasi, dan bau, otak kita pun menggunakan simulasi.
Sebagai contoh rasa/emosi jijik. Saat melihat setumpuk sampah dengan bau busuk yang menyengat, secara refleks akan timbul sensasi mual dan ingin muntah dalam diri kita. Kita mengenal sensasi ini sebagai rasa/emosi jijik. Ini karena, sebelumnya otak kita sudah menyimpan konsep “jijik”. Jika sebelumnya otak kita tidak menyimpan konsep “jijik”, maka kita hanya akan merasakan perasaan itu sebagai perasaan yang asing. Inilah juga bagaimana ketika seorang pasien mengalami penyakit yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Para dokter tidak bisa menyebutkan apa penyakit pasien tersebut, dan hanya bisa menyebutnya sebagai penyakit aneh.
Lebih jauh, menurut penulis buku ini, berbagai konsep yang kita kenali tidaklah mewakili benda sebagaimana ia adanya, melainkan hanya mempersepsikan benda-benda tersebut. Dan, persepsi ini diciptakan oleh masyarakat dan budaya tertentu. Persepsi bukanlah benda itu sendiri, melainkan cara manusia dalam memahami benda tersebut.
Dengan pemahaman seperti ini, maka bisa disimpulkan bahwa emosi seperti marah, senang, sedih, suka, jijik, kecewa, dan sebagainya juga merupakan ciptaan masyarakat alias konstruksi sosial. Karena, kita mendefinisikan sebuah sensasi tertentu sebagai rasa senang dengan mencocokkannya dengan konsep “senang” yang merupakan konstruksi sosial.
Dan, jika emosi hanyalah konstruksi sosial, maka ekspresi emosi pun tak jauh berbeda.
Ring 4 - Bisakah Mengetahui Seseorang Berbohong atau Tidak dari Ekspresi Wajah & Gerak Tubuhnya?
Di Ring 2 sudah dijelaskan bahwa ekspresi emosi tidaklah universal. Setiap orang sangat mungkin mengekspresikan emosinya dengan cara yang berbeda dari orang lain. Di samping itu, satu orang juga bisa mengekspresikan emosi yang sama dengan cara yang berbeda di waktu yang berbeda.
Kemudian, di Ring 3 juga sudah dijelaskan bahwa emosi dan ekspresi emosi merupakan konstruksi sosial. Ini berarti, orang dari latar belakang budaya yang berbeda sangat mungkin memiliki konsep emosi dan ekspresi emosi yang berbeda.
Nah, dari dua fakta barusan, bisa kita simpulkan, kita tidak bisa memukul rata bahwa semua orang yang berbohong akan menunjukkan ekspresi dan gerak-gerik yang sama. Sehingga, teknik mengenali orang yang berbohong dengan melihat ekspresi wajah dan gerak-geriknya tidaklah bisa diandalkan.
Demikian juga dengan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector. Prinsip kerja lie detector bukanlah dengan mengenali ucapan yang benar dan bohong. Lie detector hanya mengenali tingkat stres pada orang yang dites dengan alat tersebut. Karena, orang yang berbohong dipercaya memiliki tingkat stres yang tinggi, dan tinggi rendahnya tingkat stres bisa dideteksi dari perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Fungsi lie detector hanyalah merekam perubahan tersebut.
Akan tetapi, ketika seseorang dicurigai berbohong meskipun sebenarnya tidak dan dia dipaksa untuk diuji dengan lie detector, maka kemungkinan besar tingkat stres orang tersebut juga meningkat. Dan, lie detector akan merekam peningkatan tersebut. Ini justru akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Si penguji akan menilainya berbohong meskipun sebenarnya tidak.
Ring 5 - Bagaimana Cara Mengendalikan Emosi?
Menurut penulis buku ini, tujuan utama otak bukanlah untuk membuat keputusan yang rasional, tetapi untuk memastikan bahwa kita tumbuh, bertahan, dan bereproduksi. Penulis buku ini menyebutnya “body budget” alias “penganggaran untuk tubuh.”
Body budget berarti alokasi energi oleh otak untuk membuat tubuh kita tetap hidup dan sehat. Untuk menjaga keseimbangan budget tubuh, otak mengantisipasi kebutuhan tubuh dan berusaha untuk memenuhinya bahkan sebelum kebutuhan tersebut muncul.
Lalu, apa kaitannya dengan mengatur/mengendalikan emosi?
Sensasi internal dalam tubuh kita, yang kita kenal dengan emosi dibentuk oleh mood alias suasana hati. Mood bukanlah emosi itu sendiri melainkan perasaan umum yang kita alami sepanjang hari. Berbeda dengan emosi yang banyak variannya (marah, senang, sedih, bangga, dan seterusnya), mood hanya memiliki dua variasi, yakni baik dan buruk, dengan intensitas yang berbeda-beda.
Mood selalu ada, bahkan saat kita tidur, dan mood lah yang menjadi standar ukur untuk menilai seberapa besar energi yang dialokasikan otak untuk tubuh. Mood yang buruk menandakan tubuh kita kekurangan anggaran. Dan, ini mengakibatkan emosi kita juga buruk.
Oleh karena itu, untuk mengontrol emosi, menurut penulis buku ini, yang perlu dilakukan bukanlah mengendalikannya satu per satu, melainkan dengan menjaga kestabilan body budget. Dengan menjaga kestabilan body budget, maka seburuk apapun kejadian yang kita alami, emosi kita tetap terkendali.
Bagaimana cara menjaga kestabilan body budget?
Mengonsumsi makanan yang sehat, rutin berolahraga, dan tidur malam yang cukup.
Lisa Feldman Barrett merupakan seorang profesor psikologi terkemuka di Northeastern University, di mana ia berfokus pada ilmu afektif. Barret juga merupakan direktur di Interdisciplinary Affective Science Laboratory. Bersama dengan James Russel, dia adalah pemimpin redaksi dari jurnal Emotion Review.
Setelah menyelesaikan buku “How Emotions Are Made”, Rezal pun mendapatkan banyak insight. Berikut beberapa di antaranya:
1.Emosi tidak selalu terekspresikan dengan cara yang sama. Ekspresi emosi tidaklah universal. Setiap orang sangat mungkin mengekspresikan emosinya secara berbeda dari orang lain. Di samping itu, satu orang yang sama, di waktu yang berbeda, bisa saja mengekspresikan emosi yang sama dengan cara yang berbeda. Mungkin saat ini kita mengekspresikan kesedihan kita dengan menangis, tapi besok dengan tersenyum.
2.Emosi bukanlah hal yang alamiah melainkan merupakan bentukan/konstruksi sosial. Begitu juga dengan ekspresi emosi. Setiap budaya memiliki konsep yang berbeda-beda mengenai berbagai jenis emosi seperti takut, senang, sedih, marah, dst.
3.Karena ekspresi emosi hanyalah konstruksi sosial, maka sangat mustahil untuk mengenali seseorang yang berbohong hanya dari ekspresi yang tergambar di wajah dan gerak-gerik tubuhnya.
4.Untuk mengatur emosi, yang diperlukan adalah menyeimbangkan body budget, yakni menyeimbangkan alokasi energi yang disalurkan otak kepada tubuh.
5.Untuk menyeimbangkan body budget, yang perlu dilakukan antara lain mengonsumsi makanan sehat, berolahraga rutin, dan tidur malam yang cukup.
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Rezal, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di Baring selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital dan jika Anda ingin mendalami buku “How Emotions Are Made” lebih lanjut, Anda bisa memesannya di sini.
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya