A HISTORY OF GOD - The 4.000 year quest of Judaism, Christianity and Islam
Karen Armstrong
Teks tersedia
Audio tersedia
-
Plot
-
Ring 1
-
ring 2
-
ring 3
-
ring 4
-
ring 5
-
ring 6
-
ring 7
-
ring 8
-
Kesimpulan
-
Full Dering
Kirana masih belum bisa terima ketika ada temannya yang menyerang keyakinannya dan menyatakan kalau Tuhannya itu memiliki banyak kecacatan. Ia masih bisa merasakan kemarahan di dadanya dan di kepalan tangannya. Ingin sekali ia menampar temannya ini saat Karina tidak bisa memberikan argumen yang menguatkan keyakinannya. Semua pemikiran Karina bisa dipatahkan oleh temannya ini.
Sesampainya di rumah, ia video call dengan sahabatnya yang sekarang sedang kuliah di London. Ia pun menceritakan tentang kejadian hari ini.
Temannya dari London hanya bisa tertawa membayangkan seperti apa reaksi Karina saat keyakinannya diserang habis-habisan. Karina pun semakin marah dan menganggap perasaannya tidak dihargai oleh temannya di benua sebarang itu.
“Lo tahu kenapa gue bisa tertawa seperti ini? Karena yang lo rasakan itu juga sering gue rasakan di sini. Di sini lebih parah lagi sis, orangnya lebih kritis-kritis. Tapi ya sudahlah, ini mungkin awal yang bagus buat loe untuk mencari lebih banyak tentang siapa itu Tuhan loe.”
“Kalau lo mau membuka diri, gue bisa merekomendasikan beberapa buku. Bentarrr (sambil berpikir), gue rasa buku pertama yang lo perlu baca bukunya si Karen Armstrong, yang judulnya A HISTORY OF GOD - The 4.000 year quest of Judaism, Christianity and Islam. Buku ini akan membuka wawasan lo sis. Coba deh lo baca dulu.” Begitulah mereka mengakhiri percakapan mereka.
Karina pun semakin penasaran akan buku yang direkomendasikan. Ia pun buru-buru langsung membeli bukunya lewat toko online.
Mau tahu bagaimana Karina menemukan solusi atas kemarahannya karena keyakinannya dipertanyakan oleh temannya? Mari kita simak perjalannya di Ring berikut ini:
Ring 1 - Mengapa Makna Akan Tuhan Berubah Sepanjang Waktu?
Terdapat perbedaan antara kepercayaan akan dalil dengan keyakinan, yang dapat membuat kita percaya sepenuhnya padaNya.
Ungkapan “saya beriman pada Tuhan”, seperti juga dengan ungkapan lainnya, tidaklah berarti apapun jika yang mengatakan adalah komunitas tertentu. Sebenarnya, tidak ada perbedaan makna dalam pengucapan kata “Tuhan”; malahan, kata tersebut mengandung sebuah makna yang cukup luas, yang mana sebagian memiliki arti yang kontradiktif.
Karena, jika ungkapan Tuhan tidak memiliki makna sefleksibel itu, maka ungkapan ini tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa bagi manusia.
Di luar dari hal spiritual, agama adalah hal yang sangat pragmatis. Pada kenyataannya, keberhasilan pelaksanaan beberapa gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan dianggap lebih penting daripada hanya sekadar masuk akal atau terdengar cerdas.
Begitu gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan ini tidak lagi berjalan dengan efektif, maka maknanya akan berubah—terkadang menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan radikal.
Namun, hal ini tidak mengganggu sebagian besar para monoteis pada zaman dahulu, karena gagasan mereka mengenai Tuhan dan ketuhanan telah jelas dan keyakinan mereka begitu suci dan sakral, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua keyakinan itu hanya bersifat sementara.
Ring 2 - Seperti Apa Awal Mula Adanya Tuhan?
Pada awalnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang merupakan Awal dan Sumber dari segalanya dan Pengatur surga dan alam semesta. Dia tidak dapat terbayangkan dan tidak memiliki kuil atau pendeta-pendeta yang membantuNya dalam melakukan pekerjaanNya. Dia sangat agung dan seluruh puja-puji yang bisa diungkapkan atau dibayangkan oleh para manusia.
Manusia tidak mampu mendeskripsikan keagunganNya. Dia sering menghilang dari kesadaran para manusia. Dia menjadi semakin jauh, sehingga manusia memutuskan bahwa mereka tidak menginginkanNya lagi. Pada akhirnya, kebanyakan manusia menganggap Dia telah menghilang.
Terdapat begitu banyak teori yang mengutarakan mengenai asal muasal agama. Sampai saat ini pun, tampaknya menciptakan Tuhan-Tuhan menjadi hal yang gemar dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketika sebuah gagasan relijius tidak mampu lagi menampung hasrat mereka, dengan mudah gagasan relijius itu tergantikan.
Ring 3 - Seperti Apa Sejarah Perkembangan Konsep Tuhan?
Menurut Enuma Elish—puisi epik untuk merayakan kemenangan para Tuhan—Tuhan itu muncul atau terbentuk dari dua buah zat yang tak terbentuk, yang menyerupai limbah. Dalam mitos Babilonia—yang nanti pun juga akan muncul di dalam Injil—tidak ada sebuah ciptaan yang hadir tanpa penyebab atau asal mula, dan tidak ada sebuah gagasan pun yang tampak aneh.
Sebelum para Tuhan maupun manusia lahir ke dunia ini, zat yang sakral ini telah hadir dari sebuah tempat yang abadi. Dalam Enuma Elish pun dikatakan, kekacauan bukanlah sekumpulan gerakan massa yang berapi-api dan bergelora, namun sebuah keteledoran akan kurangnya ikatan, definisi dan identitas di dalamnya.
Kemudian tiga Tuhan muncul dari antah berantah: Apsu (dikenali dengan sungai yang berisi ari manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, rahim yang mengandung kekacauan. Singkatnya, ketiga Tuhan ini merupakan sebuah model ketuhanan yang kurang cerdas dan masih memerlukan banyak perbaikan.
Nama-nama mereka, “Apsu” dan Tiamat” dapat diartikan sebagai: “neraka”, “kehampaan”, atau “teluk yang tak berdasar”. Mereka berbagi kelemahan dari bentuk asli mereka dan belum mendapat identitas yang jelas.
Oleh sebab itu, rangkaian para Tuhan lain yang bermunculan setelah dan terinspirasi dari mereka yang muncul dengan proses emanasi, yang mana merupakan hal yang cukup penting dalam sejarah Tuhan kita.
Para Tuhan yang baru satu per satu bermunculan, sebagian demi sebagian. Tiap kemunculan baru tersebut mengandung definisi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dan seperti itulah berjalannya evolusi ketuhanan.
Ring 4 - Lalu Bagaimana dengan Agama-agama Besar di Dunia?
Agama-agama yang sekarang ada di dunia, seperti Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan agama yang di dalam Kitab Injil dikaitkan pada Nabi Ibrahim, yang mana meninggalkan negerinya dan tinggal di Kanaan pada abad 19 atau 20 SM.
Sebenarnya tidak ada rekam jejak yang telah pasti di dapatkan oleh para peneliti, namun para ilmuwan berpendapat: Nabi Ibrahim merupakan seorang pemimpin dari kaum yang terdiri dari para pengembara, yang mana memimpin kaumnya berhijrah dari daratan Messopotamia menuju ke Mediterrania, pada sepertiga akhir milenium SM.
Sejarah asal muasal nabi Ibrahim dan keturunannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat tiga gelombang awal pada terciptanya pemukiman bangsa Ibrani di Kanaan, atau yang sekarang adalah tanah Israel modern. Gelombang pertama adalah yang terkait dengan Nabi Ibrahim dan kota Ibran dan terjadi pada sekitar tahun 1850 SM.
Gelombang kedua hijrah adalah yang terkait dengan cucu nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, yang dijuluki sebagai Israel (semoga Tuhan menunjukkan kekuatanNya); beliau tinggal di Shechem, yang mana sekarang merupakan kota Arab di Nablus West Bank.
Kitab Injil mengatakan bahwa anak nabi Ya’kub, yang merupakan pemuka dari dua belas suku di Israel, berhijrah ke Mesir karena terjadi paceklik yang parah di Kanaan. Kemudian, gelombang ketiga dari pemukiman bangsa Ibrani hadir pada sekitar tahun 1200 SM, di mana para suku yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim, tiba di Kanaan dari Mesir.
Mereka mengatakan bahwa mereka telah diperbudak oleh bangsa Mesir, namun telah dibebaskan oleh Tuhan yang bernama Yahweh, yang dipimimpin oleh Musa. Begitu mereka berhijrah ke Kanaan, mereka membaur dengan bangsa Ibrani di sana dan menjadi bangsa yang dikenal dengan sebutan bani Israel.
Kitab Injil menjelaskan bahwa bangsa yang kita ketahui sebagai nenek moyang Israel merupakan gabungan dari berbagai kelompok suku, yang mana terikat secara prinsip berdasarkan Tuhan mereka yang disebut dengan Yahweh, yaitu Tuhannya nabi Musa. Sejarah perinjilan yang dicatat setelah beberapa abad kemudian, di sekitar abad ke delapan SM, juga mencatatkan hal yang sama.
Ring 5 - Bagaimana Budha dan Hindu Memberi Makna pada Tuhan?
Tuhan yang mungkin menginspirasi kaum-kaum yang sukses berkembang di dalam revolusi ketuhanan. Pada ketiga keyakinan, Tuhan menginspirasikan sebuah idealisme dari keadilan sosial, walaupun harus dikatakan bahwa penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Islam sering gagal dalam menghidupkan idealisme ini dan secara sadar maupun tidak sadar, telah mengubah Tuhan sebagai sebuah bentuk status quo.
Para Tuhan tidak lagi merupakan hal yang sangat penting di India. Malahan, mereka jauh lebih patuh pada guru relijius, yang mereka anggap lebih tinggi dari para Tuhan. Ini merupakan sebuah tuntutan nilai kemanusiaan dan hasrat untuk mengendalikan takdir: ini bisa menjadi wawasan relijius yang sangat baik bagi negara tetangganya.
Agama baru dari para penganut ajaran Hindu dan ajaran Buddha tidak menolak keberadaan dari Tuhan, dan tidak pula mereka melarang pengikut atau kaumnya untuk menyembah para Tuhan.
Dalam pandangan mereka, pengekangan dan penolakan terhadap hal-hal seperti itu akan membuahkan kerusakan. Karena itu, para penganut ajaran Hindu dan Buddha melihat jalan baru untuk bisa melebihi para Tuhan, untuk berada di atas para Tuhan.
Kekuatan ilahiyah para Tuhan ini akan memberikan kesan asing, walaupun pada kenyataannya ini juga meliputi, menopang dan menginspirasi diri kita. Teknik Yoga telah membuat orang sadar akan dunia batiniah.
Disiplin postur, pernafasan, diet dan konsentrasi mental ini juga telah dikembangkan secara mandiri pada kultur-kultur lain. Perkembangan ini menghasilkan pengalaman akan pencerahan dan penerangan, yang mana diterjemahkan secara berbeda, namun tampak alami bagi kaum adam.
Sang Buddha meyakini keberadaan para Tuhan secara tidak langsung, namun dia tidak percaya para Tuhan itu bisa berguna bagi manusia.
Para Tuhan pun dianggapnya bergelimangan penderitaan dan terlalu rumit ajarannya; para Tuhan tidak membantu dirinya untuk menemukan pencerahan; para Tuhan terlibat dalam rantai reinkarnasi seperti juga dengan makhluk lainnya, yang mana berarti pada akhirnya para Tuhan pun juga akan menghilang.
Namun, pada saat-saat krusial dalam hidupnya, sang Buddha membayangkan para Tuhan mempengaruhinya dan memainkan peran yang aktif dalam pikirannya.
Sang Buddha tidak menolak untuk percaya dengan keberadaan para Tuhan, namun percaya juga dengan keberadaan surga dan menganggapnya lebih tinggi dari para Tuhan.
Ketika penganut ajaran Buddha mengalami kebahagiaan atau perasaan luar biasa saat meditasi, mereka tidak meyakini bahwa hal tersebut merupakan hasil dari kontak mereka dengan kekuatan gaib.
Kondisi seperti itu dianggap sebagai kondisi yang alami bagi para manusia; mereka dapat dicapai oleh siapa pun yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Alih-alih bergantung pada Tuhan, sang Buddha menekankan pada para muridnya untuk menjaga dirinya sendiri.
Ring 6 - Bagaimana Buddha Mengartikan Konsep Surga?
Karma mengikat manusia pada rantai reinkarnasi yang kekal, pada rangkaian kehidupan yang penuh derita. Namun, jika mereka bisa membentuk kembali sikap egois mereka menjadi sikap yang lebih baik, maka mereka akan dapat mengubah takdir mereka.
Sang Buddha membandingkan proses reinkarnasi pada sebuah kobaran api yang menyalakan sebuah lampu, dari ketika lampu dinyalakan hingga api di dalamnya berkobar dan memancarkan cahaya yang menjadikan sebuah lampu terang.
Jika seseorang mati dalam keadaan masih berupa kobaran api, maka dia akan hidup lagi di lampu yang lainnya. Namun jika dia mati setelah apinya membuat lampu menyala terang, maka penderitaannya akan terhenti dan dia akan bisa mencapai surga.
“Surga” memiliki arti “bersantai”, atau “bepergian”. Ini sama sekali bukan ungkapan negatif, namun memainkan peran dalam ajaran Buddha sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan Tuhan.
Seperti yang dikemukakan oleh Edward Conze, seorang penulis buku berjudul “Buddhism: Its Essence and Development”, ajaran Buddha biasanya menggunakan gambaran yang sama dengan para penganut ketuhanan dalam mendeskripsikan Surga, yaitu realita terakhir.
Secara singkat, sebuah gagasan seperti Keindahan, memiliki kemiripan makna dengan banyak para penganut ketuhanan memaknai Tuhan mereka. Di luar dari keluarbiasaannya, gagasan mengenai ketuhanan bisa ditemukan dalam pikiran seseorang.
Kita, kaum modern, mengalami proses berpikir sebagai sebuah aktivitas, sebagai sebuah hal yang kita lakukan. Namun, Plato menegaskan bahwa ini adalah sesuatu yang terjadi di pikiran kita: objek dari pikiran akan realita yang aktif di dalam kecerdasan seorang manusia tempat manusia merenungkannya.
Ring 7 - Mengapa Manusia Memberi Makna pada Tuhan dan Ketuhanan?
Ketika manusia mulai mengonsepkan Tuhan dan mitos-mitos mereka, mereka tidak sedang mencari penjelasan sisi alamiah fenomena tersebut. Kisah-kisah simbolik, lukisan-lukisan yang tertera di dalam goa, dan pahatan-pahatan merupakan sebuah usaha untuk mengekspresikan hasrat ingin tahu mereka.
Selain itu, peninggalan ini pun dibuat untuk menghubungkan sisi misterius spiritualitas dengan kehidupan mereka.
Tampaknya, pada zaman dahulu kala, manusia menganggap jika tidak ikut serta dalam kehidupan penuh ilahi, mereka tidaklah termasuk golongan manusia. Kehidupan duniawi terlihat begitu rapuh dan dipenuhi dengan kefanaan, namun jika pria dan wanita mengikuti tindakan keilahian, mereka akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi, lebih berkuasa dan lebih efektif.
Dikatakan pula, bahwa para Tuhan menunjukkan pada manusia cara untuk membangun perkotaan dan perkuilan, yang mana dipercaya merupakan tiruan dari rumah-rumah mereka di ranah keilahian.
Dunia sakral milik para Tuhan—yang mana banyak disebutkan dalam mitos-mitos—tidak hanya sebuah hal ideal yang menginspirasi manusia, namun juga merupakan sebuah prototipe keberadaan manusia; ini adalah sebuah pola asli mengenai kehidupan kita. Segala yang ada di dunia ini dipercaya sebagai sebuah replika dari apa yang ada di dunia gaib sana.
Ring 8 - Mengapa Agama Mulai Terasa Tidak Relevan dengan Kehidupan Saat Ini?
Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak lagi menjadi hal yang relevan dalam kehidupan manusia pada hari ini, adalah karena banyak dari kita yang tidak lagi memiliki rasa terselubungi atau dikelilingi oleh hal yang tak kasat mata.
Kultur ilmu pengetahuan kita mendidik kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dunia fisik dan materil yang ada dihadapan kita. Metode dalam memandang dunia seperti ini memang cukup memberikan hasil yang baik.
Namun, salah satu konsekuensinya adalah menghapuskan rasa “spiritual” dan “suci”, yang mana kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungan yang lebih tradisional dan, yang mana merupakan sebuah komponen utama bagi pengalaman manusia di dunia.
Karen Armstrong, merupakan salah satu komentator dalam bidang relijius, yang juga merupakan penulis buku-buku yang masuk dalam kategori penulis terbaik. Beliau menghabiskan sekitar tujuh tahun sebagai seorang biarawati katolik Roma, namun beliau meninggalkan penyembahannya pada tahun 1969.
Seperti itulah Karina menemukan kebenaran dan seperti apa sejarah akan Tuhan. Inilah beberapa poin-poin penting yang ia catat.
- Makna akan Tuhan bisa berubah dari waktu ke waktu. Ini sangat ditentukan oleh kebutuhan dan kepentingan oleh kelompok tertentu.
- Manusia memberi makna pada konsep Tuhan agar manusia (pada zaman dulu) masuk ke dalam golongan manusia. Ini dibuktikan dengan kisah-kisah simbolik, lukisan-lukisan yang tertera di dinding goa.
- Saat ini agama tampak tidak lagi menjadi hal yang relevan karena banyak dari kita yang tidak lagi memiliki rasa terselubungi atau dikelilingi oleh hal yang tak kasat mata. Selain itu, perkembangan teknologi menuntut manusia untuk berpikir secara kritis dan menganggap sesuatu hal benar harus bisa dibuktikan secara ilmiah.
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Karina, semoga Anda menikmati & mendapatkan manfaat dari DeRing ini.
Sampai bertemu di Baring selanjutnya. Jika ada masukan dan ide untuk Baring.Digital, silakan email kami di ingat@baring.digital
Sukses selalu untuk Anda.
Rekomendasi Baring Lainnya